09/12/18

Oke tak Oke

Suatu malam, beberapa tahun lalu, di warung kopi BANDAR (https://goo.gl/maps/U7urgGqBvHP2) di jalan Danau Sentarum Pontianak, tak jauh dari kampus almamater, aku bertemu seorang kenalan media sosial. Beliau berasal dari salah satu kota di Kalimantan Barat. Biasanya cuma bakusapa di kolom-kolom komentar atau #japri, malam itu kami #kopdar.
Setelah percakapan basa-basi, sampai juga kami pada percakapan-percakapan berat. Sesekali sehaluan, sesekali berseberangan. Tergantung tema. Tak terasa, puncak malam terlewati. Karyawan warkop minta izin menutup pintu. Kami pesan kopi lagi dan minta izin melanjutkan percakapan di selasar.
Tapi bagaimanapun, karena lebih muda, aku sangat menghormatinya dan lebih sering memposisikan diri sebagai penanya. Termasuk menanyakan tentang puisi esai Dedy JA. Meskipun aku sendiri punya sikap, ingin tahu juga sikapnya. Menurutnya, sebaiknya jangan bawa "masalah di sana" ke sini. Okelah.
Berikutnya, kutanyakan tentang bagaimana sebaiknya "strategi kebudayaan" kita? Beliau terdiam sejenak, kemudian terbahak-bahak. "Alah, jangan bahas itu. Ketinggian. Nanti nyundul lambung pesawat." Sekali lagi, okelah.
Sebelum azan subuh, kami berpamitan. Tapi sebelumnya, beliau sempat pesan: "Kita ini bukan siapa-siapa, Rin. Kita diam-diam sajalah. Bersuara kayak apapun, takkan ada yang mendengar."
Aku mengangguk lagi. Okelah.
Tahun-tahun terlewat. Efek perang cebong versus kampret, aku tak seaktif dulu di media sosial. Kami semakin jarang baku sapa. Aku lebih sering ambil posisi sebagai "silent reader". Bahkan terpaksa pula aku mengecewakan kawan-kawan yang meminta hadirnya lagi #Jang_Moma. Media sosial tak seasyik dulu, sebelum pilpres 2014.
Lantas, ketika sejumlah rekan terlibat dalam proyek Deny JA, aku kaget. Kupikir beliau akan diam-diam saja. Ternyata, beliau aktif bersuara bahkan cenderung menyindir kawan-kawan yang ikut membuat puisi esai. Wah, tak oke ini.
Dalam beberapa hari belakangan, ketika "time line" media sosial disesaki berita dan opini tentang #Strategi_Kebudayaan_Nasional, kusimak akun beliau. Ternyata... Wah, tak oke.
Minggu, 9 Desember 2018. Pukul 23:00 wib.
Catatan di Kantor Dua.

29/11/18

KARAMO (Berbagi-Bersama)

Naskah dan Pelakon: Rosi, Raha dan Mulyani (Kakak).
Waktu : Sore hari.
Tempat: Jalan desa.
Penerjemah teks (dari bahasa Dayak Ulu Sunge Sakado ke bahasa Indonesia) : Tanto LA.
Deskripsi: Rosi dan Raha berebut kamantatn.
                            DIALOG
Rosi : Ope jolu parompah ko di aik tadik tih? (Apa yang kamu kerjakan disungai tadi?)

Kakak: Aku tadik ti bah ngusik paluntant bagotah jari ku. (Saya tadi sedang ngupas paluntatn tanganku penuh getah.)

Rosi: Nyaman paluntatn yah jomp kolok ku ngasone. Iko kalok ope engkayuk ko (nongan Reha). (Enak ya sayur paluntatn itu, aku ngak pernah sayur itu, kalau kamu sayur apa? (Melihat ke arah Raha)).

Raha: Samadi nem,  sak iko? (Terserah aja, kalau kamu?)

Rosi: Kato Umak ti engkayuk entimun barok kamantatn, manis masam barok kamue. (Kata ibuku sayur mentimun campur kamantatn, manis asam campur keong sawah.)

Kakak: Sakoti aso ne po? (Gimana rasanya?)

Rosi: Naso engkayuk am. (Rasa sayurlah.)

Raha: Done ko ngamik kamantant (Di mana kamu dapat kemantatn?)

Rosi: Di balakang dango banyak buah ne, nyok pok kayok ne. (Di belakang rumah tu. Lebat buahnya, itu lho pohonnya.)

Raha: Wai,  nyok gok kamantatn akekku! (Hah ..!!  Itu kan kemantatn punya Kakekku! )

Rosi: Madoh..! Kato umakku gok kamantant akek ku. (Bukanlah..!  Kata ibuku itu kamantatn kakekku)

Raha: Akek aku pok,  kato inek aku gok peok am. (Kata nenekku itu punya kakekku.)

Kakak: Es yah, urankng da yok oh mado gom paedah ne lari mone. (Aduh, kalian ini nggak ada juga manfaatnya, mending pergi aja lah.)

Rosi: Dah dipasang ku make unak am oh!! (Sudah saya pasang pakai duri tau nggak! (Ket: Memasang duri untuk mengamankan kepemilikan pohon))

Raha: Aku sugik dah dilaboh ku make garam! (Sudah saya taburkan pakai garam. (Ket: Juga tak mau kalah menandai kepemilikan pohon))

Rosi: Hulu... pengeramput bonar! (Huu... serakah amat!)

Raha: Iko sugik! (Kamu juga)

Rosi: bagaklah garam! (Dasar pelit (Ket: Ungkapan)).

Raha: Iko gok napo unak tajam! (Kamu juga seperti duri tajam)

Rosi: Bok umak ko banyadik sope lok ne? (Ibumu saudara siapa?)

Raha: Kalok aku ngitokng ne. (Nanti saya hitung dulu (menghitung silsilah)).

Rosi: Banyaklah banyadik umak ko, gok gik diitokng  co jopm ka ingand ne. (Banyaknya saudara ibumu, pakai dihitung lagi, masak ngak ingat).

Raha: Oh aok, banyadik umak iko am. (Oh iya, bersaudara dengan ibumu jugalah.)

Rosi: Nyak am,  berarti kamantant nyok karamo am moneh. (Itulah, berarti kamantatn itu milik kita bersama.)

Rosi: Tapi dah pasang ku make unak! (Tapi sudah saya pasang pakai duri).

Raha: Aku gok dah laboh ku make garapm. (Saya pun, sudah saya tabur pakai garam)

Rosi: Boh mone kito matak ne. (Ayo kita buang)

Raha: Boh. (Ayo)

                       TAMAT

10/12/16

NGKANO RUE DANGAN BUBUT

Tersebutlah dua ekor burung yang bersahabat, yaitu burung Rue (Ruai) dan burung Bubut. Saking bersahabatnya, kemana-mana mereka selalu bersama.
Suatu ketika, saat pohon-pohon buah mulai berbunga, sebagaimana penghuni belantara yang lain, mereka berdua pun bergembira. Mereka terbang dan bernyanyi riang dari rimba ke rimba.
Setelah dua hari selalu terbang, mereka hinggap ke dahan pohon tengkawang. Sambil mengatur napas, mereka menyaksikan aneka hewan rimba merayakan datangnya musim buah dengan cara masing-masing. Sepasang beruang madu bercengkrama, kawanan tupai melompat dari dahan ke dahan, aneka burung beterbangan, kawanan kijang berlari-lari, gerombolan babi berkubang dan lain-lain hingga kerumunan semut semadak yang riang membangun sarang.

Sambil tersenyum, Rue menoleh pada Bubut.

"Bulu-bulumu sangat cantik, Bubut."

"Terima kasih, Rue. Ini anugerah Tuhan."

"Iya, Bubut. Sudah sepantasnya kita, khususnya kamu berterima kasih padaNya. Akupun, meskipun memiliki bulu yang biasa-biasa saja, tetap berterima kasih. Bayangkan, kalau tidak ada bulu, jelang musim hujan ini aku pasti kedinginan."

"Kamu mau punya bulu yang cantik, Rue?"

"Mau. Cuma, ya, bagaimana? Ini sudah nasibku."

"Bisa. Nanti aku bantu."

"Caranya?"

"Apa kamu lupa siapa yang melukis batang pohon Tebelian di kaki bukit sana?"

"Iya. Kamu. Lukisanmu bagus sekali, Bubut."

"Nah. Sini kulukis bulu-bulumu. Selama ini aku memperhatikan bulu-bulumu, Rue. Aku membayangkan, jika bulu-bulumu yang panjang kulukis dengan pola tertentu, cukup dengan warna gelap dan terang, penampilanmu pasti akan cantik."

"Aku mau, Bubut. Aku mau. Aku percaya kamu bisa."

"Baik. Mari kita cari daun, getah dan buah-buah untuk membuat tinta."

"Mari."

"Eh, tapi kita 'pangari', ya. Kulukis bulumu, kamu lukis buluku. Setuju?"

"Emhhh...tapi...aku tak sepandai kamu, Bubut. Dan bukankah bulumu ini sudah sangat cantik?"

"Kamu tahu tanamam resam, kan?"

"Iya. Kenapa? Bahan tinta?"

"Bukan. Aku ingin kamu melukis ujung-ujung sayapku dengan pola resam."

"Tapi..."

"Tenang. Nanti aku bisa mengajarimu."

Mereka pun terbang ke seantero hutan untuk mengumpulkan bahan-bahan. Setelah terkumpul, Bubut memilih dan mengunyah bahan-bahan tersebut. Rue membentangkan sayap dan bulu ekor. Dengan paruhnya, Bubut melukis bulu Rue helai demi helai.

Begitu selesai, Bubut tersenyum puas.

"Boleh kututup sayap dan ekorku"

"Jangan. Sebentar lagi. Tahan sedikit. Biarkan matahari mengeringkan tintanya dulu."

Sayap dan ekor Rue gemetar. Bubut memeriksa hasil lukisannya dengan saksama.

"Beres! Kamu bercerminlah ke telaga."

Tak lama kemudian, Rue sudah kembali dari telaga. Wajahnya berseri-seri. Bulu ekor dikembangkannya, sungguh megah dan indah.

"Terima kasih sahabatku, Bubut. Aku suka dengan hasil lukisanmu."

"Sekarang, aku siap dilukis. Ingat. Cuma bagian ujung bulu-bulu sayap. Motif resam. Dan aku ingin warna merah. Itu sudah kuambil beberapa biji buah pinang."

Dengan gugup Rue mulai mematuk dan mengunyah biji pinang. Dengan bimbingan Bubut, kunyahan pinang dicampur dengan beberapa jenis getah pohon. Bahan-bahan itu bercampur liur dan siap digunakan. Bubut membentangkan sayap. Rue mulai melukis. Bubut saksama mengamati seraya memberikan petunjuk.

Sayap kiri selesai. Berikutnya sayap kanan. Berhati-hati Rue melukis sembari sesekali melihat sayap kiri. Jangan sampai hasilnya nanti tak seimbang.

Tiba-tiba mata Rue melotot. Pola di sayap kanan terlalu besar. Ia diam sejenak dan memikirkan cara mengatasinya.

"Kamu kenapa, Rue?"

"Itu...hufthhh!"

Terlambat! Harusnya Rue tak bicara saat melukis. Paruh Rue berisi cairan pewarna tersembur ke badan Bubut.

Mereka sama-sama terperanjat.

"Kamu tidak hati-hati!"

"Maafkan aku, Bubut. Maafkan aku..."

"Ah, dasar kamu jahat. Aku tahu, selama ini kamu iri."

"Coba cepat ke telaga dan mandi. Semoga tintanya masih bisa luntur."

"Iya. Tapi sebelum ke telaga, aku harus memberi pelajaran padamu agar lebih berhati-hati."

Dengan sayap, paruh dan cakarnya, Bubut membabi buta menyerang Rue. Rue mengelak sebisanya. Sesekali pukulan, pantukan dan cakaran Bubut mengenai tubuhnya.

"Cukup, Bubut. Cukup. Nanti tintanya kering."

"Aku belum puas!"

Rue bertubi-tubi kena serangan Bubut. Demi melihat Rue makin tersudut, Bubut semakin mengamuk.

"Maafkan aku, Bubut. Maafkan aku. Aku mengaku salah."

"Maaf? Maaf apa? Apa masalah akan selesai hanya dengan meminta maaf?"

"Bubut, sadarlah. Ingat. Bukankah Tuhan pun Maha Pengampun?"

Tapi kata-kata Rue tak digubris. Bubut terus menyerang. Akhirnya Rue tak tahan lagi. Dengan sisa kekuatan, ia terbang menjauh. Bubut mengejar dan terus mengejar. Dari pohon ke pohon, dari hutan ke hutan, kadang terbang rendah, sesekali terbang tinggi.

Matahari rebah di balik bukit. Bubut terkejut. Segera ia mencari telaga terdekat. Cepat ia mencelupkan diri. Sesaat kemudian ia muncul dan mengibaskan air dari tubuhnya.

Rue hinggap di sebatang dahan Meranti tak jauh dari telaga. Tatapan cemas campur iba. Dengan saksama ia melihat sahabatnya mencelupkan diri berkali-kali. Tapi, tinta terlanjur kering mengabadi.
Dengan tubuh lelah dan tatapan dendam, Bubut berteriak lantang ke arah Rue: "Mulai hari ini kita bersumpah. Aku tidak akan terbang ke hutan. Dan kau pun tidak boleh terbang ke tanah lapang, ladang atau lahan bawas."

Demikianlah. Sepasang sahabat itu tak pernah terlihat bersama-sama lagi. Masing-masing mereka teguh memegang sumpah.

Jika pagi-pagi kita ke ladang, bawas (bekas ladang) atau lahan bersemak, biasanya akan bertemu Bubut. Ia bersarang di tanah. Bulu-bulunya basah oleh embun. Jika matahari mulai bersinar di ufuk timur, ia akan berjemur. Ia berharap tinta di tubuhnya meluntur.

10.12.16
Catatan teras warung Ngkada: NGKANO RUE DANGAN BUBUT.
Narasumber cerita Pak Andreas Sidon Settel dan Pak Jambel.

15/07/15

TUAN PILIH KASIH

"...di sanaaa...tempat lahir beta...dibuai dibesarkan Bunda...dst."

Tuan, jika kami terus suarakan ketidakadilan pembangunan, bukan karena cengeng atau cari perhatian. Bukan. Kami bersuara karena ini adalah kenyataan: Tuan pilih kasih.

Entah gumam entah teriak parau, suara kami adalah pernyataan kesadaran murni mencintai negeri. Sebab kalau bukan karena mencintai, kami bisa saja pendek akal, Tuan. Akan kami gugat sejarah penuh rekayasa yang diajarkan dibangku-bangku sekolah. Mau tonggak yang mana, Tuan? Embrio nasionalisme? Sumpah Pemuda?

Titik mana lagi? Proklamasi? Penyerahan swapraja? Periode transisi RIS? Dekrit 5 Juli? Transisi Orla-orba? Orba-reformasi?

Kalau kami pendek akal, Tuan, akan kami pertanyakan kenapa kakek-nenek kami dulu menyerahkan swapraja pada republik ini. Bisa saja kami buruk sangka. Itu tipu-tipu Tuan. Itu niat busuk Tuan mengangkangi potensi alam yang luar biasa di sini. Itu kehendak Tuan dalam rangka majapahitisasi. Ah, jangan diteruskan, Tuan. Nanti kami bisa keluarkan serapah melempar alu ke sungai. Cukup. Cukup. Cukup.

Cukuplah Tuan tahu kami berusaha berprasangka baik. Semua adalah untuk kejayaan nusantara. Cukuplah Tuan tahu kami menjinakkan dan bahkan membunuh prasangka-prasangka buruk tersebut. Tapi kenapa Tuan tetap saja pilih kasih? Tuan tetap saja mengambil apa-apa yang bisa diambil di sini dengan mentera "kesatuan", lalu menyejahterakan bagian lain republik? Apa beda kami dengan saudara kami "di sana", Tuan? Apakah Tuan akan terus-menerus seperti ini, berlaku tak adil? Apa Tuan lupa, sesiapa yang berlaku tak adil akan dilumat sejarahnya sendiri?

Tuan, sekali lagi. Kami bersuara karena kami mencintai republik ini.

Penutup, ini sebuah solilokui: "Tuan, kami sudah meng-Indonesia. Apa Tuan sudah meng-Indonesia-kan kami?"

31.01.14
Nota Akhir Januari: Tuan Pilih Kasih.

AKROBAT KATA (tesis ke sekian untuk belalang sembah)

Sederhana saja, Tuan dan Puan. Kalian sengaja berjarak, serta teler akibat nafsu berakrobat kata.

Pernahkah membumi, sekali saja? Tanah air kami dirampas dengan mantera nasionalisme.

Masih banyak lagi ocehan kami untuk menjaga, lalu kalian dakwa itu kebencian?

Lalu slogan indah kalian itu apa? Tipuan. Tak percaya? Periksa lagi risalah tua, lihat halaman-halaman terbuang.

Dengan demikian kalian akan tahu, semasih mendakwa kami membenci, berarti kalian sendiri yang tertipu.

Tertipu sejak keluar dari rahim ibu. Jadi, membumilah, belajarlah sebelum berlagak jadi hakim atas kejujuran ungkapan kami.

Senin, 03.03.13. Catatan Warung Kopi: AKROBA KATA (Tesis ke sekian untuk Belalang Sembah)

Support

Join My Community at MyBloglog!