13/10/08

APARAT

Oleh: Amrin. Z. R.

Awalnya, saat mendengar abangnya akan mendaftar menjadi anggota polisi, Anwar gembira bukan kepalang. Betapa tidak. Sekiranya nanti sang abang, Ahmad Dani, benar-benar menjadi polisi, tentu bukan hanya kebanggan bagi dirinya, Apak, Umak serta Aneng[1] saja, melainkan kebanggan juga bagi seluruh sanak-menyadik[2] di kampung. Baik itu sanak-menyadik dari kampung Apaknya berasal, yang berada di hulu ibukota kabupaten, maupun dari kampung Umaknya yang terletak di hilir.

Kebanggan Anwar bukan tanpa alasan. Sebab, sejauh pengetahuannya, sebagaimana yang ia dapat dari Apak maupun paman-paman, belum satu orang pun keluarga besarnya ada yang menjadi polisi, aparat penegak hukum, manusia mulia penjaga ketertiban masyarakat. Bahkan, jangankan keluarga besarnya, untuk ukuran ibukota kabupaten, tempat mereka sekarang tinggal, penduduk asli yang menjadi polisi masih dapat dihitung dengan jari.
Dulu, ditahun-tahun terakhirnya di Sekolah Dasar, Anwar pernah bertanya pada gurunya tentang fenomena tersebut. Kenapa sedikit sekali orang kita yang menjadi polisi? Menjadi tentara? Menjadi pejabat? Kenapa kebanyakan justru berasal dari luar pulau? Anwar masih ingat betul betapa hati-hatinya sang guru menjawab.

“Inilah Nasionalisme!” kata sang guru. Ditambahkan pula penjelasan bahwa ada yang berhasil dalam kariernya, namun bertugas di wilayah lain Indonesia . Begitu pula dengan beliau-beliau yang bertugas di sini. Mereka adalah orang-orang terbaik dari wilayah lain Indonesia . Penempatan tugas seperti ini bertujuan untuk mempererat persatuan dan kesatuan bangsa.

Bagaimana Anwar mendengarnya? Ia manggut-manggut. Meskipun dikemudian hari, tepatnya tahun lalu, ia mendengar penjelasan yang agak berbeda dari Cu[3] Taufik, adik bungsu Umaknya, ia tetap percaya pada penjelasan gurunya.
Tahun lalu itu, saat ia masih kelas 1 SMA, Cu Taufik menjelaskan panjang lebar mengenai dominasi kebudayaan. Pamannya yang masih kuliah di tingkat akhir di ibukota propinsi, yang tas dan jaketnya ada gambar Che[4], bertanya: “Apakah ada jepin dan kondan [5]kita yang ditayangkan rutin oleh televisi nasional?”

Walaupun pembicaraannya bersama sang paman tak sepenuhnya ia mengerti, apalagi penjelasan-penjelasan yang sarat istilah akademis, namun seiring berjalannya waktu, pelan-pelan ia menyadari bahwa untuk orang-orang sepertinya, seperti keluarganya, seperti orang-orang di kampungnya, di kotanya, di daerahnya, jika ingin menjadi polisi, tentara ataupun pejabat, tetaplah tidak mudah.

Berarti, apa yang disampaikan sang paman tidak sepenuhnya keliru bahwa di negeri yang konon gemah ripah loh jinawi ini, diam-diam telah terjadi dominasi kebudayaan.
Namun hati kecilnya berontak. Indonesia yang aku tahu tidaklah seperti itu. Indonesia adalah Indonesia , negara yang memperkenankan siapa saja warganya menggapai cita-cita untuk berbakti dan mengabdi. Apakah untuk orang seperti aku, sebagaimana nenek yang menjadi tabib di kampun sana , tidak boleh menjadi dokter untuk Indonesia ? Apakah untuk orang seperti abangku, tidak boleh mewujudkan cita-citanya menjadi polisi? Apakah untuk orang seperti adik perempuanku, tidak boleh menjadi presiden? Apakah untuk orang seperti pamanku tidak boleh menjadi negarawan? Apakah untuk orang seperti Afuk, sahabatku, tidak boleh menjadi pegawai negeri?

Pertanyaan demi pertanyaan yang beranak pinak dalam benaknya, menghantuinya saban malam setiap menjelang tidur. Jadi wajar, ketika tahu abangnya berkesempatan menggapai cita-cita yang sulit itu, ia seakan setengah gila karenanya. Pada sahabat-sahabatnya ia menceritakan dengan kebanggaan yang membuncah di dada. Sahabat-sahabatnya setuju bahwa abangnya memang layak menjadi polisi. Sudah postur tubuhnya atletis (beda dengan dirinya yang agak kerempeng), pintar lagi. Sahabat-sahabatnya kerap meminta bantuan abangnya menyelesaikan tugas-tugas sekolah yang rumit, baik eksak maupun noneksak. Bahkan ia tahu, diam-diam banyak kawan sekolahnya, terutama yang perempuan, mengidolakan abangnya. Sebagai adik, ia kecipratan keberuntungan. Begini, hampir setiap hari ia ditraktir fans-fans abangnya itu. Tugasnya sederhana. Menjawab pertanyaan mereka seputar sang abang. Apakah masih jomblo? Bagaimana sih kepribadiannya? Kalau di rumah bagaimana sih orangnya? Cewek seperti apa yang diidamkannya? Apakah di antara mereka ada yang memenuhi syarat? De el el sampai perkara remeh-temeh pun ditanyakan. Misalnya apakah abangnya kalau tidur memakai kaus kaki?

Pada guru-gurunya pun ia ceritakan. Tentu sebatas pemberitahuan. Semua guru, kecuali guru baru, masih mengenal abangnya. Dan beliau-beliau sangat mendukung serta turut menyemangati. Soalnya saat abangnya masih bersekolah di situ, ia adalah sedikit di antara siswa yang berprestasi dan mampu mengharumkan nama sekolah.
Pada sang paman, Cu Taufik, ia tambahkan penjelasan tentang Indonesia yang kini berubah, tidak lagi sentralistik tapi otonomi daerah. Pengetahuan ini jelas ia dapat dari bangku sekolah serta berkat membaca koran dan menonton berita di televisi. Tapi sang paman malah nyengir. Otonomi? Ini namanya otonomi setengah hati. Dan tahukah kau bahwa propinsi kita ini dulunya menyandang status istimewa? Kenapa status itu dicabut? Apakah hal ini dipelajari di sekolahmu?

Seperti biasanya, saat bicara dengan pamannya, ia kerap penasaran. Menggelitik rasa ingin tahunya. Pada akhirnya sang paman mendoakan, semoga ponakannya yang tertua, Ahmad Dani, menjadi aparat negara tidak dengan cara-cara yang tidak benar. Dengan menyogok misalnya. Karena menurut pandangan pamannya, negara Indonesia yang sesungguhnya berpotensi menjadi negara besar, tapi tetap tidak bisa seperti sekarang, salah satu penyebabnya adalah kebiasaan menyogok itu. Bayangkan, Anwar, kata pamannya. Semisalnya engkau atau siapapun warga negara ini yang hendak menjadi abdi negara, untuk dapat mencapai posisi itu harus menempuh jalan menyogok, yang tentunya bukan cuma sejuta dua juta, ketika pun pada akhirnya ketika diterima, tidak dapat total menjalankan profesionalisme, melainkan dihabiskan dengan pikiran bagaimana caranya mengembalikan investasi sogokan itu. Ini sudah menjadi rahasia umum, Anwar, kata pamannya lagi. Namun apa yang akan terjadi, jika seluruh masyarakat memaklumi saja dan menganggapnya sebagai kewajaran hidup? Akan jadi apa Indonesia kita? Jika terus begini, sejak sekarang kita dapat menghitung dengan jari berapa lama lagi umur negeri yang kita cintai ini.

Mengerikan juga pandangan pamannya itu. Tapi benar. Sekiranya keadaan belum berubah, Indonesia akan rapuh. Mudah dihancurkan dari luar maupun dari dalam. Namun Anwar meyakini, dirinya, keluarganya bukan orang-orang yang seperti itu, yang hanya mementingkan diri sendiri. Sebab ia tahu, Apaknya adalah orang yang taat beragama, jujur dan keras hati. Tentu tidak akan menempuh jalan seperti itu, semata agar anaknya bisa menjadi polisi.

-oOo-

Namun sekarang, hari ini, saat diadakan syukuran atas pelantikan sang abang, dirinya tak lagi sebangga dulu. Keluarga, tetangga dan kenalan yang ramai datang ke rumahnya hanya ia sambut dengan senyum tenang. Padahal hatinya bergemuruh. Ia tidak pernah menceritakan dengan siapapun perkara prahara dalam benaknya. Termasuk pada pacarnya, Tyana.

Selama berbulan-bulan, semenjak keluarganya sibuk dengan urusan pendaftaran sampai pada masa-masa abangnya menjalani pendidikan, ia menyimpan kecamuk itu hati-hati dalam hati. Rapat-rapat. Untuknya sendiri. Ia tidak ingin satu orang pun di dunia ini tahu, bahwa salah seorang paman jauhnya, sepupu Umak, beberapa kali secara diam-diam mendatangi Apaknya.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan kedatangan paman jauhnya itu. Baik sesekali ataupun sering-sering, tak masalah. Namanya saja keluarga. Namun yang membuat Anwar risau, perlakuan yang ia terima dari Apak, Umak dan Abangnya ketika ia bertanya tentang maksud kedatangan pamannya yang berbadan kurus itu. Tidak ada yang mau memberikan penjelasan gamblang. Semuanya terkesan menutup-nutupi. Padahal ia tahu bahwa banyak orang tahu selain sebagi pegawai negeri, profesi sampingan paman jauhnya adalah Bank Empat Tujuh[6]. Apakah ada yang ditutup-tutupi mereka?

Ia khawatir, orang tuanya menggunakan jasa Bank Empat Tujuh itu. Khawatir itu semakin mengkristal menjadi kecurigaan dan kecurigaan itu semakin kuat ketika ia mendapat jawaban dari Apak, Umak maupun paman jauhnya itu: “Nuar, ini urusan orang dewasa.”
Baiklah. Dengan hati remuk redam ia menanggung sendiri kecurigaan itu, memikul sendiri kemungkinan bahwa abangnya menggapai cita-cita dengan jalan yang tidak benar, jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang mengkeroposkan negeri ini. Aneh juga, pikirnya. Kenapa ketika orang lain melakukan hal tersebut, ia merasa marah bukan main. Tapi ketika hal tersebut dilakukan oleh keluarga sendiri, kenapa semacam ada pemakluman, bahkan dibuatkan acara syukuran seperti ini pun hatinya mencoba berdamai. Padahal kalau dipikir-pikir, tujuan acara yang semula bersyukur atas ridho Sang Khalik, sebenarnya adalah upaya memperolok kebesaran-Nya. Betapa tidak, bukankah acara seperti ini adalah syukur dan terima kasih karena Sang Khalik karena mengizinkan keluarganya menempun jalan-jalan yang tidak benar?

Anwar tersenyum-senyum sendiri memikirkan kontradiksi itu. Keluarganya memperolok Tuhan? Hatinya berdenyar. Pilu. Inikah kedewasaan? Hatinya berdenyar lebih kencang. Seiring lantunan ayat-ayat suci dari hadirin, denyar di hatinya semakin kuat. Semakin kuat. Semakin kuat. Tubuhnya bergetar. Dadanya mengembang dan mengempis dengan cepat. Ketika lantunan ayat-ayat itu selesai, ia melihat Apaknya beringsut dan permisi pada hadirin menuju ke arah dapur.

Entah kekuatan darimana yang mendorong Anwar untuk bangkit menyusul. Teguran dari beberapa orang yang berpapasan dengannya tak ia hiraukan. Ia terus menyusul Apaknya. Ia melihat Apak dan Umaknya sedang duduk di salah satu sudut dapur. Berbisik-bisik sambil mengawasi hidangan yang akan dihantar pemuda-pemuda, termasuk beberapa sepupunya, ke ruang tamu.

Degup jantungnya semakin menjadi. Namun ia kuatkan hati menghampiri kedua orang tuanya. Mereka tampak kaget. Umaknya yang langsung bertanya apakah dirinya sedang sakit. Ia menggeleng. Ketika benar-benar sudah dekat, ia bertanya pelan dengan suara bergetar dugaan-dugaan yang ada dihatinya. Ia menegaskan bahwa dirinya sudah besar. Sudah belajar sedikit banyak tentang hidup. Anehnya, kedua orang tuanya justru saling pandang dan tersenyum.

“Kau masih ingat, Anwar,” kata Apaknya, “ tentang bagaimana pendapat Apak mengenai hal itu?”

Anwar mengangguk pasti. “Kata Apak. Apak tidak akan membiarkan anak istrinya, keturunannya hidup dengan jalan yang tidak benar seperti itu.”

“Lantas, apakah menurutmu sekarang Apak sudah berubah, membiarkan abangmu menjadi polisi dengan jalan menyogok?”

Anwar menggeleng resah. Ia kemudian bertanya perihal paman jauhnya yang beberapa kali datang ke rumah. Tapi Apak dan Umaknya bukan lagi tersenyum, tapi tertawa kecil.

“Anwar…Anwar…” kata Umaknya, “jadi selama ini dirimu curiga kalau Apakmu meminjam uang dari pamanmu itu?”

Lagi-lagi mereka tertawa kecil. Namun, demi melihat raut muka anak nomor duanya yang terheran-heran, mereka kemudian menjelaskan bahwa kecurigaan Anwar itu tidak benar. Abangnya menjadi polisi dengan cara bersih. Perihal paman jauhnya, justru paman jauhnya itulah yang terus menerus berupaya meminjam uang karena usaha sampingannya di tipu orang.

Mendengar penjelasan itu, tiba-tiba saja Anwar menyalami kedua orang tuanya dengan takzim seraya meminta maaf. Setelah itu ia kemudian bangkit, setengah berlari menuju ruang tamu. Mencari abangnya, kemudian memeluknya kuat-kuat seraya berbisik :” Anwar bangga pada Abang!”
Abangnya dan semua hadirin terheran-heran.

-oOo-
Kota Hantu, 16 Juni 2007



[1] Dalam bahasa Melayu Sanggau, Kalimantan Barat, Apak adalah Bapak/ Ayah; Umak adalah Ibu; Aneng adalah nama panggilan untuk adik, biasanya adik perempuan.
[2] Sanak-menyadik adalah kaum kerabat, handai taulan.
[3] Cu atau Ucu adalah sebutan kesopanan bahasa kepada paman atau bibi bungsu.
[4] Che Guavara, tokoh revolusioner Amerika Latin. Ikon dirinya kerap dijadikan lambang bagi pemuda dan mahasiswa pergerakan.
[5] Jepin adalah tarian tradisional Melayu dan Kondan adalah tarian tradisional Dayak.
[6] Bank Empat Tujuh, gelar lain untuk rentenir. Misalnya meminjam uang empat juta rupiah, mengembalikan tujuh tujuh juta rupiah.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Support

Join My Community at MyBloglog!