10/04/10

MONOLOG: RECHT

(Seorang pria setengah baya duduk di sebuah sofa. Kaki kanannya ditumpangkan pada lutut kiri. Sepatu kanannya yang hitam mengkilat, sesekali bergoyang. Tangan kirinya dibentangkan pada punggung sofa. Tangan kanannya memegang telepon selular keluaran terbaru vendor terkenal, dengan jempol yang sesekali tampak memencet tombol. Wajahnya yang simpatik berkali-kali tersenyum puas).

Kalau sudah begini, siapa yang tidak akan bangga…siapa yang tidak akan bahagia…coba lihat ini (membaca SMS dengan lantang dan penuh keharuan): “Boss, kami sekeluarga mengucapkan trima kasih yang sebesar-besarnya atas pertolongan Boss. Berkat pertolongan Boss, anak kami yang tertua sekarang telah menjadi aparat. Meskipun bertugas di pelosok, berkat petuah-petuah bijak dari Boss, anak kami belum lama ini telah membuatkan untuk kami sebuah rumah baru. Sekali lagi, Boss, tanpa pernah merasa lelah, kami ucapkan terima kasih.”

Saya masih ingat betul bagaimana si Bapak ini bersama anaknya datang ke sini pertama kali. Sebagaimana kebanyakan orang yang datang menemui saya untuk keperluan serupa, raut muka mereka menunjukkan harapan dan kesungguhan. Sebagai orang yang dididik menurut kaiah-kaidah agama dan adab ketimuran, tentu, hati saya tergerak menolong. Apalagi, ada satu hal unik yang membedakan si Bapak dan anaknya ini dengan tamu-tamu saya yang lain. Si Bapak dan anaknya ini, masing-masing memikul sebuah tempayan besar. Luar biasa semangat mereka. Hati saya semakin terenyuh ketika sang Bapak menjelaskan perihal tempayan yang mereka bawa itu.

“Boss, dua tempayan ini warisan leluhur. Telah beberapa generasi keluarga besar kami menjaganya. Sebagaimana amanat moyang, kami tidak boleh menjual atau memberi tempayan ini pada pihak lain, kecuali keadaan terdesak, terutama menyangkut keselamatan dan masa depan kaum kami.”

Saya terenyuh. Sungguh-sungguh terenyuh. Betapa tidak, tempayan yang memiliki arti penting bagi keluarga besar dan kaumnya, mereka berikan kepada saya, dengan harapan saya dapat menolong agar anaknya dapat jadi aparat. Sebenarnya, dalam urusan seperti ini, saya lebih suka ‘mentahnya’ saja. Tapi, mereka memaksa. Mereka kemudian menyatakan sekiranya satu orang saja dari keluarga besarnya ada yang berhasil menjadi aparat, jelas membawa perubahan besar bagi kaumnya.

“Setiap hari, sejengkal demi sejengkal tanah dan hutan kami digerogoti. Baik oleh pertambangan, loging, maupun oleh perkebunan-perkebunan. Tujuan semulanya memang untuk menyejahterakan masyarakat. Tapi kenyataannya, yang untung, yang sejahtera hanya segelintir orang. Apakah segelintir orang ini dapat memberi manfaat bagi kebanyakan orang? Mmhhh…yang terjadi adalah kami harus menjadi budak di tanah kami sendiri.”

Sang Bapak melanjutkan cerita tentang perjuangan mereka menemui pihak-pihak terkait. Ternyata, mereka hanya menerima janji-janji kosong. Ketika mereka menuntut…(Si Boss mengepalkan tangan, berdemonstrasi. Meneriakkan berulang-ulang: “Kami menuntut janji saudara-saudara!!!)… mereka dibenturkan dengan barisan aparat, dengan dalih bahwa apa mereka perjuangkan dan bagaimana mereka berjuang adalah melanggar hukum. Dari situ pula mereka menyadari bahwa pososi tawar mereka lemah. Mereka hanya dianggap penduduk lokal yang masih terbelakang dan tidak mengerti hukum. Jadi, mereka menyimpulkan bahwa salah satu cara yang masuk akal adalah orang mereka harus ada yang menjadi aparat.

Selain itu, jika ada satu orang saja orang mereka yang bisa menjadi aparat, tentu akan semakin sedikit pelajar-pelajar yang berhenti atau tidak melanjutkan sekolah. Sebab, selama ini, orang-orang mereka tidak ada yang menjadi panutan untuk menunjukkan arti penting sekolah. Bahkan tidak sedikit orang-orang tua yang berpandangan: “Sekolah tinggi-tinggi pun kelaknya akan menginjak-injak kepala kita.”

Ternyata, usaha mencapai rencana tersebut tidak mudah. Tahun lalu saja, ada lima pemuda mereka yang mendaftar. Dua pemuda gagal pada tes-tes awal. Tiga pemuda melanjutkan dan…gagal di tes akhir. Anehnya, alasan kegagalan ketiga pemuda itu sama, yaitu mata mereka menderita semacan gangguan.

Awalnya sanak keluarga menerima alasan itu. Namun di kemudian hari, ada orang yang membisiki bahwa alasan apapun yang digunakan untuk menggagalkan seseorang pada tes akhir, termasuk alasan kesehatan mata, sesungguhnya adalah omong kosong. Karena sesungguhnya alasan adalah…(Si Boss membuat isyarat dengan tangan kirinya, menggesekkan jempol pada telunjuk).

Lantas si Bapak bercerita bahwa orang yang membisiki mereka merekomendasikan seseorang yang bisa membantu, yaitu…saya. Tapi saya tidak mau langsung membantu begitu saja. Saya harus waspada, harus jaga-jaga. Maklum jaman sekarang, tidak seperti dulu lagi. Saya tidak ingin seperti beberapa kolega. Karena terlalu mudah percaya, terlalu mudah menolong, niat yang semula mulia untuk menolong sesama manusia, justru berakhir malapetaka. Beberapa kolega terpaksa harus masuk penjara. Namun lebih banyak lagi kolega, yang meskipun tidak masuk dalam penjara, pun tetap merugi. Menghabiskan banyak biaya agar tidak di-meja-hijau-kan.

Jadi, mula-mula, saya harus tahu terlebih dulu identitas orang yang merekomendasikan saya. Maklum, untuk urusan seperti ini, syarat utamanya adalah kepercayaan. Meskipun sang Bapak menyebut sebuah nama yang saya kenal, saya tanya lagi detail lainnya. Apakah orangnya tinggi atau pendek? Gemuk atau kurus? Apakah dia punya tahi lalat di wajahnya? Letak persisnya di mana? Dekat hidung atau dekat bibir? Rambutnya? Caranya berjalan? Cara dia duduk? Cara dia bicara?

Singkat cerita, setelah yakin bahwa orang yang dimaksud adalah kawan baik saat saya bertugas di daerah, saya menelponnya. Memastikan. Ternyata benar. Hanya saja secara berguarau saya utarakan kekecewaan, kenapa dia tidak turut mengantar si Bapak dan anaknya ini. Atau paling tidak, menyertakan semacam surat pengantar.
Tapi kawan baik saya itu menjawab bahwa dirinya sedang menangani sebuah kasus yang…sensitif. Maksudnya melibatkan orang-orang penting di sana. Sehingga ia benar-benar minta maaf tidak bisa mengantar mereka dan menelpon saya. Tentang surat pernyataan, kawan baik saya itu berseloroh: “Surat pengantar? Waduh, Boss. Jangan-jangan akan menjadi bukti kasus sensitif untuk kita berdua…”

Kemudian, ia juga mengharapkan agar saya sungguh-sungguh menolong si Bapak dan anaknya itu. Karena menurutnya, si Bapak itu pernah menyelamatkan nyawanya dalam suatu peristiwa. Ia juga mengatakan bahwa tempayan yang mereka bawa itu bukan barang biasa. Agar saya yakin, ia menyarankan saya menghubungi seseorang, kawan kami juga, yang sangat paham tentang baran-barang antik.

Demikianlah, selesai menelpon, saya berbincang lagi dengan si Bapak dan anaknya. Saya periksa nilai-nilai ijazahnya. Saya perhatikan benar-benar raut muka dan postur anaknya. Setelah itu saya menyilakan mereka istirahat di kamar tidur tamu.

Setelah yakin mereka istirahat karena perjalanan jauh yang melelahkan, sebagai warga negara yang baik, saya menelpon ketua RT. Saya lapor ada keluarga yang datang dan menginap. Kemudian, saya menghubungi kawan yang benar-benar paham barang-barang antik. Di luar dugaan, dia sangat anusias. Langsung datang malam itu juga. Tepatnya menjelang tengah malam. Begitu saya tunjukkan dua tempayan itu, saya sendiri sampai terheran-heran melihat reaksinya.
(Dengan tangan seolah memegang kaca pembesar, si Boss meneliti dengan saksama dua tempayan yang juga seolah-olah ada di ruangan itu).

“Luar biasa…! Luar biasa…! Ini barang, dicari-cari banyak orang. Luar biasa…! Boss…Boss sungguh beruntung. Jangankan menjadi pemiliknya, menjadi perantara saja, Boss sudah dapat untung besar.”

“Kok bisa?”

“Dua tempayan ini memiliki nilai sejarah tinggi. Dulu, ketika terjadi kontak pertama perdagangan antara saudagar-saudagar China dengan penduduk pribumi, barang-barang inilah yang menjadi komoditas mereka.”

“Ini asli?”

“Percayalah, Boss. Sebagimana yang Boss ketahui, bisnis ini adalah bisnis turun temurun keluarga saya. Bahkan saya sudah terlibat bisnis ini sejak masih dalam kandungan ibu.”

“Tempayan ini benar-benar dicari banyak orang?”

“Sebentar, Boss. Itu tergantung pengertian Boss tentang apa yang dimaksud dengan ‘banyak orang’. Kalau yang dimaksud adalah mereka-mereka yang mengerti dan suka mengoleksi barang-barang antik seperti ini, jelas, rata-rata mereka memburunya. Tapi kalau yang dimaksud adalah keseluruhan orang di dunia, di Indonesia atau keseluruhan orang di propinsi ini, hehe…tentu saja banyak orang yang tidak tahu.”

“Kok?”

“Yeah…maklum sajalah, Boss, bagaimana pengajaran sejarah di negara kita. Anak-anak kita lebih paham sejarah luar negeri dan sejarah di pulau Jawa ketimbang sejarah di tempat sendiri.”

“Edi Soed, Rahmat Kartolo?”

“Kita ambil contoh. Anak-anak kita diajarkan di sekolahnya tentang peradaban Mesir, Mesopotamia, Persia, Inca dan lain sebagainya. Begitu pula tentang Sriwijaya, Majapahit, Mataram, Pajang, Banten dan lain-lain. Tapi apakah mereka tahu tentang kerajaan Tanjungpura, Matan, Sukadana dan kerajaan-kerajaan lain di Kalimantan Barat ini? Apakah mereka tahu bahwa di tanah ini pernah lahir sebuah republik sebelum Republik Indonesia diproklamirkan, bahkan sebelum Amerika Serikat menyatakan kemerdekaan? Apakah mereka juga diajarkan bahwa propinsi ini dulunya pernah menyandang predikat Daerah Istimewa? Apakah mereka juga dijelaskan bahwa pencabutan predikat pada waktu itu adalah akibat konstelasi elit politik di Pusat sana?… Yang tahu sedikit, Boss. Sedikit sekali…Boss, kalau boleh tanya pendapat, menurut Boss apa penyebabnya?”

“Mungkin…karena…orang kita yang menjadi sejarawan masih sedikit…”

“Setuju! Dan saya pun setuju dengan istilah yang Boss gunakan: ‘masih sedikit’. Setidaknya cukup sopan bagi orang timur seperti kita, untuk menyebut keadaan yang sebenarnya, yaitu: ‘tidak ada!’….Huahaha…”

(Masih dengan sisa kekehan, si Boss kembali ke sofa).

Saya jadi terobsesi menguliahkan anak nomor dua saya ke jurusan sejarah di pulau Jawa. Celakanya, masih di semester-semester awal, anak saya itu bergaul rapat dengan mahasiswa-mahasiswa aktivis. Maksud saya yang semula agar ia menyelidiki dan menduniakan kesejarahan di tanah ini…ee…tahunya saya yang ia kuliahi.

“Pak, sebaiknya Bapak berhenti membantu orang yang ingin jadi aparat. Sebab, Bapak akan menjadi bagian dari sistem yang bikin kropos negeri ini. Kita harus belajar dari sejarah, Pak. Kenapa Belanda yang sudah tiga setengah abad menjajah kita, ketika diserang Jepang, aparatnya terbirit-birit lari ke ketiak ibunya? Kondisi terkini negara kita, kurang lebih sama dengan keadaan Belanda waktu itu. Warga yang ingin menjadi aparat, bukan karena fungsi, tapi karena statusnya. Akibatnya, segala cara ditempuh demi mencapainya. Yang bikin saya sedih, orang tua saya terlibat secara aktif dalam jaringan itu.”

“Lantas maumu?”

“Bapak berhenti membantu orang-orang itu.”

“Lha…untuk biaya kuliahmu saja dari situ?”

“Kalau begitu, saya berhenti kuliah.”

“Yakin? Apa fasilitasmu di sana kurang? Kamu ingin mobil?”

“Tidak, Pak. Saya tidak mau kuliah saya di biayai dari usaha yang merongrong keutuhan negara yang saya cintai ini!”

(Air muka si Boss kembali berombak.)

Ada benarnya juga kalau ada orang yang bilang menyekolahkan anak tinggi-tinggi pun akhirnya akan melangkahi kepala kita. Tidak usah jauh-jauh. Anak saya sendiri contohnya. Tapi saya tidak bisa memarahinya. Sebab, satu malam sebelum ia turun demonstrasi, saya sempat menelponnya: “Apa kamu pikir kamu sudah hebat jadi aktivis? Jadi demonstran? Bukankah kalau bukan karena aku, bapakmu ini, yang membiayai kuliahmu, sesungguhnya kamu hanyalah seorang pengangguran?!”

Keesokan harinya, saat demonstrasi ia tertembak. Dan sampai sekarang, aparat tak sanggup mengungkapnya…

(Si Boss kembali duduk di sofa dengan muka keruh. Memainkan tuts ponselnya secara tak menentu. Lampu fade out.)

-oOo-

Kota Hantu, Juli 2007
Catatan:
- Recht dalam bahasa Belanda berarti Hukum.
- Atas saran beberapa sahabat, petunjuk panggung diminimalisir dan deskripsi diperluas dengan tujuan agar memudahkan pembacaan, baik oleh orang yang sudah paham maupun yang masih awam tentang teater.
- Lampu fade out adalah bagian dari teknik tata cahaya. Lampu berangsur meredup sampai gelap sama sekali.
- Jika ada pihak yang ingin mementaskan dan mengadakan penyesuaian pada beberapa bagian (yang bersifat teknis, tanpa mengurangi substansi tema), cukup konfirmasi kepada penulis via e-mail: amrin_zr@yahoo.co.id

2 komentar:

  1. Mantap karangan2 mu sobat, terus menulis siapa tau bisa buat novel atau cerpen nih sip... :D

    BalasHapus
  2. Sip. Tengkyu, Bro. Udah baca buku kumpulan cerpen Wanita Penjaga Api? Plis kasi masukan...

    BalasHapus

Support

Join My Community at MyBloglog!