Bercakap-cakap dengan batu. Kasihan juga, lantaran hujan yang sporadis mengguyur Bumi Borneo Raya, melongsorkan tebing jalan, memaksanya meloncat dari pertapaan.
"Sebentar lagi tapaku selesai, tapa untuk bisa bersua dengannya. Mengatasi ketakterhinggan godaan. Kumulai sejak sebermula zaman, ketika atom-atom saling menarik dan melempar diri dalam semesta penciptaan...tapi, lihat kini, aku tronggok sia-sia, yang sebentar lagi 'kan kau luluhlantakkan, kembali menjadi debu."
"Tapa untuk bersua siapa?"
Ia diam. Tak hendak kuulangi pertanyaan. Hanya menatap saksama permukaanya yang basah, berbedak lumpur kuning. Ia rupanya telah menyiapkan diri untuk upacara bernama perjumpaan.
"Cinta pertama?"
"Menurutmu?"
"Apa yang lebih dahsyat dari cinta pertama?"
"Kau menuduhku memberhalakan cinta pertama?"
"Lantas apa kekuatan hebat yang membuatmu sanggup bertapa?"
"Tapi tapaku gagal, bukan?"
"Kau hendak menyalahkan hujan?"
Kami sama terdiam. Kalimat-kalimat kami seperti menempuh dua arah sekaligus, satu memantul, dua berkejaran di ruang hampa. Kami sama tersenyum. Mengerti bahwa sama-sama tak mengerti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar