18/05/11

IZINKAN AKU MENJADI WARAS

Izinkan aku menjadi waras, Bapak. Ketika melihat sosok ringkih yang setiap pukul setengah empat sore, melewati kampus, memikul rupa-rupa barang, potongan kayu, seng rombeng, kadang ban luar sepeda motor yang telah kehilangan bunga, kadang seikat kangkung atau pakis ikan. Topi, baju, celana dan sepatu yang selalu sama. Pukul setengah empat sore yang selalu sama. Cara berjalan yang selalu sama. Selalu muncul dan hilang dengan cara yang sama. Celakanya, selalu meninggalkan jejak memar di sukma yang selalu sama.
Kemana pemerintah dan negara? Apa saja kerja mereka?
Kemana para insan intelektual yang berbuih mulutnya menerangkan teori-teori keilmuan?
Kemana agama? 

Izinkan aku menjadi waras, Mak. Melihat ibu-ibu yang menggendong anaknya, histeris mempertahankan lapak pisang gorengnya yang diamuk aparat.

Izinkan aku menjadi waras, Kak. Ketika  turut menggendong perempuan muda tak kukenal yang tumbang di pintu diskotik.

Izinkan aku menjadi waras, Bang. Saat hendak kulayangkan tinju pada seorang pengangguran yang terpaksa jadi copet di Pasar Tengah.

Izinkan aku menjadi waras, Dik. Waktu melihat kanak-kanak melahap donat basi dari tong sampah dekat gerbang sekolah.

(21.02.09)

2 komentar:

  1. notesmu bagus....sbagai aktualisasi keabsahan hidup ini...dimana kita harus menikmati setiap karya Allah....pencipta kita, dimana mungkin ada saatnya kita seperti tisak bisa berbuat apa-apa untuk mereka yang membutuhkan....

    BalasHapus
  2. Terima kasih, Mbak Dian. Demikianlah. Kadang...sebentar, tepatnya kerapkali. Kerapkali kita hanya bisa melihat dan merekamnya dengan apa yg kita bisa.
    Terima kasih, Mbak Dian sudah berkunjung dan berkenan meninggalkan jejak.
    Syabasss...

    BalasHapus

Support

Join My Community at MyBloglog!