28/01/12

INB IN MEMORIUM

Mi, aku yang biasa kau panggil Pi, ingin mengenangmu dalam banyak sisi. Tapi tak bisa.

Hari itu pertengahan Desember 2011. Kami rombongan suatu kegiatan pendidikan, baru sampai di salah satu hotel di Singkawang. Cuaca berangin dan basah. Setelah mengirim sandek pada keluarga, kukirim sandek padamu.

"Di rumah sakit," demikian sandek balasan darimu. Saat kutanya lagi tentang siapa yang sakit, sakit apa dan di rumah sakit mana, tak ada balasan. Sandekku seakan terkirim ke angkasa tanpa batas. Aku tak berpikir aneh. Sebab, saat kukunjungi laman beranda fb-mu, hanya mengindikasikan jarang diperbarui si pemilik. Sibuk barangkali. Aku pun lanjut mengikuti agenda pelatihan.

Padahal aku ingin sekali bertemu keluargamu. Berkenalan dengan suamimu, yang akrab disapa Bung Topas, serta buah hati kalian, Alif. Kemudian bersama keluarga kecilmu menyusuri eksotika Singkawang. Jazirah yang dengan cantik kau lukiskan dalam bait-bait puisimu. Antara tahun 1999 dam 2000, aku pernah khusyuk dengan Singkawang, bersama tim Sanggar Bhinneka saat mementaskan Sam Pek Eng Tay (Naskah Nano Riantiarno, Sutradara Alm. Lukman Ikhsan Ellong). Jadi, aku kangen pada banyak hal. Mulai dari rapinya jejalan raya, landmark, sampai pada keramahan warganya. Ohya, jangan bilang siapa-siapa. Aku belum pernah ke kawasan Sinka Island. Aku ingin lihat pulau terkecil sedunia itu. Aku ingin ajak kalian ke situ.
Turisnya satu, guide-nya tiga. Kan keren itu? Lantas aku pengen difoto layaknya  pertapa agung di pulau terkecil itu. Sayangnya agenda pelatihan rapat-padat. Aku hanya bisa meluangkan waktu sejenak ke pasar Singkawang. Melanggar pantangan dokter, menikmati  kopi thiam.

Pelatihan empat hari membuat otak dan batin "melumpik" (bhs. Melayu Senganan Sanggau untuk air yang meluap dari batas penampungan). Atas nama agenda kegiatan, kami langsung pulang ke hulu. Kukabarkan kepulanganku. Lagi. Sandekku terkirim ke angkasa luas.

Awal Januari 2012. Baru beberapa hari melewatkan malam yang dipenuhi suara terompet Naga Air dan  tarian pijar kembang api. Ini status FB-ku pada malam itu:
"Aku ingin tidur. Karena besok akan berangkat jauh.Aku bersiap menyudahi daring malam ini. Saat refresh beranda FB, status adikku, Dian Puspita Sari, mengagetkanku: Tentang penyair perempuan dari Singkawang yang lebih dulu "tidur"...yang lebih dulu "berangkat jauh"... yang lebih dulu "menyudahi daring-nya" bersama kita...Selamat jalan, Ida Nursanti Basuni...(05.01.12, pukul 23.48 WIB"

***

Mi, aku yang biasa kau panggil Pi, ingin mengenangmu dalam banyak hal. Tapi tak bisa.

Pertengahan dekade pertama dari alaf millenium. Seorang sahabat, Hatta, sedang merintis sebuah galeri seni di kawasan Sumur Bor, Pontianak. Seorang sahabat yang lain, Pay Jarot Sujarwo (PJS), berjenang Matahari Khatulistiwa, dengan semangat meneleponku.

"Rin. Kau di galeri Ata, kan? Jangan kemana-mana, ya? Aku bawa kawan. Dari Singkawang. Perempuan. Perempuan luar biasa."

Kutunggu di galeri Hatta sampai sore. Sampai senja, tepatnya. Barangkali mereka ada kendala, kupikir. Aku pun memutuskan untuk pulang. Tak jauh meninggalkan galeri Hatta, aku berpapasan dengan PJS. Ia membonceng seorang perempuan. Siapa dia?

***

Mi, aku yang biasa kau panggil Pi, ingin mengenangmu dalam banyak hal. Tapi tak bisa.

Hanya sekali itu saja pertemuan kita. Sepintas kilas. Sonder sapa.

Kita akhirnya bertemu. Tapi di sesusun aksara sandek dan renyah suara di telepon. Juga di beranda, bilik chat dan inbox jejaring sosial. Aku masih ingat kritikmu terhadap buku Wanita Penjaga Api.

"Itu salah cetak...atau memang sengaja bikin pembaca bingung?"

"Yang pertama."

"Kenapa tak dibetulkan? Pusing tahu membacanya..."

Kau juga lugas dan tegas, tapi lembut saat kita "berkelahi" soal puisi. Di antaranya: "Aihhh, Pi. Maaf, idiom yang Pi gunakan udah lazim. Pasaran. Masa' Pi lupa dengan tugas kita sebagai Pejuang Kata-kata?"

Tapi yang paling "panas" adalah di kotak komentar catatan FB. Tepatnya di puisi PULAU (http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150198555161491)
Kita berdebat seru soal EYD. Sampai akhirnya status FB-mu membuat uluhatiku beku. Kuputuskan ber-hibernasi. Saat ada beberapa kerabat FB bertanya soal hibernasi, aku hanya bilang ingin rehat sejenak. Padahal sebenarnya, kutunggau kau bertanya, Mi. Saat yang ditunggu-tunggu itu pun datang. Kuceritakan soal beku hati. Tapi kau malah tertawa... "Aihhh, Pi. Status itu bukan untuk Pi. Tapi untuk seseorang (menyebutkan nama pulau) yang baru punya satu buku, tapi tergila-gila minta dipanggil penyair."

Haaaa?... Gedubraaakkk...

***

Mi, aku yang biasa kau panggil Pi, ingin mengenangmu dalam banyak hal. Tapi tak bisa.

Saat kau hubungi soal launching buku MIMPI SANG DARE, aku gembiara bukan main. Tapi juga kukatakan: "Mi, Pi tersinggung berat."
Tentu saja aku tersinggung. Pertama, buku itu diberi kata pengantar oleh salah seorang akademisi sekaligus sastrawan Indonesia, Maman. S. Mahayana. Kedua, tempat launching-nya bukan main-main, PDS HB. Jassin, Jakarta. Bandingkan dengan "buku" pertamaku, Kumpulan Sajak Lelatu. Berupa fotokopian, tanpa kata pengantar, serta hanya di-"launching" dengan malu-malu di meja Wapress Taman Budaya Kalimantan Barat.

Kau iyakan ketika kutanya apakah akan bertemu langsung dengan Pak Maman. S. Mahayana.

"Mi, tolong sampaikan salam Pi untuk beliau."

"Baik, Pi. Pasti Mi sampaikan. Tapi... kok ngarepdotkomlah kesannye Pi kali nie. Ade ape, Pi?"

"Beliau termasuk salah satu tokoh yang mbuat Pi memileh jadi penulis dan jadi sorang guru. Ohye. Bise ndak titep oleh-oleh untok beliau? Plis. Misalnye, cinderamata Tugu Khatulistiwa... atau makanan dari Aloe Vera? Eh, kire-kire... beliau suke ape, ye?"

"Liang Teh." Saat menjawab ini, kurasa intonasimu berubah.

"Nah, bise bawa' satu untok beliau? Nanti' Pi ganti ongkosnye..."

Diam sejenak.

"Gini, Pi. Sebenarnye Mi dah siapkan Liang Teh untuk beliau..."

"Waduhhh... jadi?"

Diam lagi.

Setelah bertimbang pada banyak hal: "Gini'  ja'lah. Liang Teh nie atas name Pi."

"Lho? Nanti' Mi cammane?"

"Tenang, Pi. Mi maseh ade oleh-oleh laen untok beliau."

Demikianlah KEBENARANNYA. Ia berbesar hati, merelakan oleh-olehnya sebagai oleh-oleh dariku. Jadi, ini sekaligus konfirmasi bahwasanya oleh-oleh Liang Teh itu, bukan semata dariku. Tepatnya dari kami berdua.

***

Mi, aku yang kau panggil Pi, ingin mengenangmu dalam banyak sisi. Tapi tak bisa. Seluruh pengetahuanku hanya berkisar pada satu kata, meskipun tak pernah kau minta: "PENYAIR".



BUMI BATU BERTULIS, 10.01.2012


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Support

Join My Community at MyBloglog!