30/03/14

PAGI DI SUB TERMINAL KAPUAS INDAH

"Jalan Gajah Mada itu, Dek," ujar si Bapak penjual tiket dengan semangat, "maseh belintang-lintang dengan kayuk."

Aku mengangguk-angguk. Tiba-tiba terdengar suara dari kios di sebelah. Bilah papan pintu kios terbuka. Seorang kakek, dengan kain sarung, lengkap dengan wajah terkantuk-kantuk, mulai memindahkan papan-papan pintu kios.

"Cume mak puloh rupiah...atau tujoh limak jak, aku pernah ditawarkan tanah," lanjut si Bapak dengan mata menerawang, "itu, di dekat menara TVRI."

"Jalan A. Yani?"

"Ha-ah. Di sampingnye tu lah."

Pintu-pintu kios lain pun terbuka. Terdengar pula dentum house music dari sebuah kios yang menjual keping-keping vcd/dvd.

"Tau sekarang berape harge tanah di situk? Harge emas ndak ade ape-apenye."

Sembari mengaduk teh hangat, aku memindahkan posisi duduk. Nah. Bisa melihat ke arah steigher. Enam buah kapal bandong, tambat di steigher kanan. Tambat dua dengan sistem tiga lapis. Di bagian belakang tiga kapal bandong, masing-masing tampak orang mandi. Ber-tarzan ria. Jika steigher kanan berpondasi tongkat-tongkat beton, menghunjam kokoh dasar Kapuas,
maka steigher kiri mengapung. Kuhitung, ada lima kapal klotok tambat. Nah, tambah satu lagi, klotok siap mendekat.

Aku menatap sekeliling. Ya. Noktah ini mewakili kota Pontianak. Pusat Perbelanjaan ada. Rumah ibadah ada. Terminal angkutan jalan raya ada. Pelabuhan angkutan sungai ada. Tak terbayang bagaimana beberapa dekade lalu. Saat Pasar Kapuas Indah dibuka sebagai pusat perbelanjaan modern pertama di Borneo Barat.

"Nyesal aku. Ngapelah tak kubeli dolok-dolok tanah tu."

Matahari angkat. Terminal yang berkasih-kasihan dengan lekat pada pelabuhan sungai mulai ramai. Sebuah bis, dengan nama tulisan besar nama perusahaan, memasuki areal terminal perlahan.

(Lupa tanggal bikin draft ini beberapa pekan lalu. Catatan tentang sebuah pagi di terminal bis samping Kapuas Indah).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Support

Join My Community at MyBloglog!