Tak selalu sependapat aku dengan pamanku itu. Kerap aku deranya dengan kata-kata. Misal, untuk membangunkan keluarga yang susah bangun pagi, terutama aku, ia akan menyitir ayat-ayat "Hai orang -orang yang berselimut, bangun dan bangkitlah...dst..." Nah, patut dicatat, ayat tersebut diucapkan dengan gaya deklamasi yang menggetarkan.
Pernah juga saat libur sekolah, aku tak ikut noreh bersama kedua ortu dan abangku. Ia datang menyingkap kelambuku. Kemudian bilang: "Dari muda' upa pitu', sampai tua kola' payah ngubah-ah!" (Dari muda kayak gini, susah merubahnya sampai tua nanti).
Soal kelambu ada insiden saat masih kecil, bersama paman yang lain. Tapi, aku belum sanggup menceritakannya. Sebab sedemikian istimewa. Cerita yang akan selalu diungkap jika ada acara keluarga besar. Itu insiden bersama paman dari garis ibu, kami memanggilnya Pak Yak Kase. Sedangkan kali ini, paman yang kuceritakan adalah paman dari garis bapak, yang kami sapa Pak Teh Yasan atau Pak Teh.
Khusus Pak Teh, aku mengagumi dan terinspirasi. Beliau cerdas. Semasa muda, bersama Pak Cu Bangsawan, menjadi dua abang adik yang disegani dalam liga-liga sepak bola di daerahku. Pandai main musik. Hemat, sudah berhaji di usia muda dll. Akan panjang kalau kuceritakan satu persatu.
Nah, yang ingin kuceritakan adalah soal BAHASA INTERNASIONAL umat manusia. Aku kerap tergelitik dengan kisah itu. Kisah di masa ia masih "angkat bujang" dulu.
Begini. Di kampungku, ada beberapa kalangan yang berpikir bahwa apa-apa yang sifatnya datang dari luar, selalu bagus. Misal, barang-barang di toko, kerap ada "made in china" atau "made in japan". Sedang orang kita belum bisa bikin. Jadi orang yang membikinnya pasti hebat dari kita. Demikian pula saudara-saudara dari lain pulau. Entah kenapa, mau-mau saja otak orang-orang kita memujanya sebagai orang-orang rajin dlsb yang bagus-bagus. Orang kita, lagi-lagi, tak ada apa-apanya. Bahasanya pun beda. Hebat bahasa mereka. Mereka-mereka yang datang kemari, bisa bahasa kita, sedang kita kepayahan belajar bahasa mereka. Hebat lagi.
Nah, pamanku yang masih sangat muda saat itu, sudah tampak jiwanya sebagai asketis. Ia ungkapkan pada paman-pamannya (berarti kakek-kakek kami), tak ada bedanya kita dan mereka. Rambut hitam. Sama-sama makan nasi. Bentuk tinjanya sama dan bau juga. Tapi, beberapa pamannya, tetap ngotot bahwa orang-orang "yang bukan kita" itu hebat. Kita tak ada apa-apanya. Contoh, dari dagang, bisa kaya. Dari tanam sayur, bisa jadi tuan tanah. Kita ini banyak pemalasnya. Demikian bantahan para pamannya paman saya.
Ah, kalau pemalas, tak semua orang kita pemalas. Banyak juga yang rajin dan berhasil. Asal tak manja dan tergantung pada alam. Banyak yang mampu mengubah rimba menjadi kebun-kebun karet. Bertanam di bawas dan lain-lain. Sikap hidup bisa dibentuk dengan pendidikan. Lagi pula, tak semua "orang yang bukan kita" itu rajin. Banyak juga yang super pemalas dan berprofesi sebagai orang yang gemar menadahkan tangan. Sepemalas dan sekere-kerenya kita, tak ada yang jadi pengemis.
Tapi, namanya argumen yang muda, tentu tak dipakai. Orang-orang tua itu telah menasbihkan diri sebagai manusia-manusia berpengalaman. Beberapa sepupunya, yang kebetulan tak sekolah, bukannya mendukung pendapat kaum muda, justru taklid buta pada paham sebagian orang tua itu.
Suatu hari, pamanku itu belanja. Sambil belanja ia pasang seluruh panca indera dalam kondisi waspada. Benar, bahasa mereka lain. Tak bisa dimengerti. Demikian juga penyebutan angka-angka. Ia geleng-geleng kepala. Saat nyaris saja ia sependapat dengan pandangan sebagian kaum tua, tiba-tiba ia tersenyum. Kalau film kartun, bayangkan ada bohlam lampu yang benderang tiba-tiba di atas kepalanya. Apa yang membuatnya tersenyum? Ia tersenyum saat melihat "orang-orang yang bukan kita" itu tertawa. Lho? Kok? Memangnya kenapa?
Paman pulang dengan belanjaan dan sebuah penemuan. Penemuan penting. Dasar argumennya untuk membantah pendapat sebagian orang tua di kampung yang memuja apa saja yang datang dari luar. Kebetulan, para penganut paham itu sedang berkumpul di rumah. Ia pancing mereka bicara soal itu lagi.
Pada saat yang tepat, ia mengatakan: "Jantuh sida' yang laitn, jelas beda. Tapi ada suti' yang sama dengan kita." (Ucapan mereka yang lain, jelas berbeda. Tapi ada satu yang sama dengan kita)
"Apai nya'? (Apa itu?) " tanya paman-pamannya.
"Ketawa' sida'ah sama-am dangan kita."
Nah, dari sebagian penganut paham yang menjadi lawan paman, menjadi terpecah. Sebagian menolak, itu bukan sangkalan yang masuk akal. Sebagian lain setuju. Dari argumen paman, kalau diteruskan ke hal-hal lain, tersimpulkan bahwa manusia pada dasarnya sama.
Demikianlah. Pertama mendengar cerita ini, saat ada pesta pernikahan di kampungku, aku takjub. Aihh. Ternyata saat muda, pamanku sudah dapat melakukan suatu penelitian, menyimpulkan, mengemukakan dan akhirnya membuat perubahan pola pikir. Aku bagaimana? Pada usia yang relatif sama, aku ternyata baru menemukan rahasia pertama perjalanan, misteri hijau daun dll serta tatapan mata adik kelas yang mampu lumpuhkan kesadaran.
Lagi-lagi soal tertawa. Betapa tertawa merupakan salah satu bahasa internasional. Tertawa, bukan yang "mengenyek", tapi tawa yang membahagiakan. Betapa, orang-orang yang bisa memuat orang lain tertawa bahagia adalah orang-orang yang berjasa mempertahankan kewarasan manusia. Yuk, mari kita tebarkan tawa bahagia ke seantero dunia...
21.03.13
Catatan bawah pohon langsat saat cuci si Biroe di Batu Pahat:
PAMAN & BAHASA INTERNASIONAL.
Catatan tambahan: Ada paman jauh, yang saat itu menjadi pendukung utama paham sebagian kaum tua. Ia tak sekolah. Mungkin karena itu, penemuan, ah, tepatnye trik yang beliau ajarkan pada kami, kerap bikin kami senyum. Tertawa tak berani. Nanti tulah.
"Kalau mau belanja," katanya dengan mimik superserius, "ada rahasia bagus tidaknya sebuah barang. Tidak semua orang tahu itu. Kuajarkan pada kalian, karena aku sayang dengan kalian sebagai ponakan."
"Apa itu, Paman?"
ia menoleh kiri-kanan. Jangan sampai trik belanja yang ia beri pada kami bocor, pada angin sekalipun.
"Mau tahu? Lihat saja pada tiap barang yang dijual di toko. Kalau ada tulisan met in japan, pasti bagus itu."
:-)
Ingat, saudaraku. Senyum saja, ya. Jangan tertawa... :-)
30/03/14
PAMAN & BAHASA INTERNASIONAL
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar