23/03/14

REPUBLIK KANGKUNG

REPUBLIK KANGKUNG
Oleh: Amrin Zuraidi Rawansyah

Satu.

Lampu-lampu senja mulai dinyalakan. Orang-orang gegas. Burung-burung layang riuh kalahkan deru kendara, berebut tempat bertengger di bentangan kawat-kawat listrik.

"Mau di sini atau tunggu Bapak dekat Mushhola?"

"Sini, Pak. Bisa lihat kendaraan."

Aku pakai celana pendek. Tak bawa sarung. Jadinya tak bisa ikut Bapak Magrib-an. Maklum, tadi kami tak berencana akan jalan sampai malam. Aku kembali melihat ke arah bawah jembatan. Suka hatiku. Kendaraan-kendaraan lalu lalang di bawahku. Hahkaulah, pikirku. Kalau aku kencing dari sini, binasa kalian. Tapi jangan ah. Nanti kualat. Nanti seperti tulah mengencingi Tungku Hantu di hutan. Bisa bengkak-kembang ini "perabotan".

Aku melirik kepergian Bapak. Tampak Bapak sedang menuruni anak tangga kanan jembatan. Menuju Musholla di bagian timur Kapuas Indah Plaza. Tadi kami cukup lama berjalan-jalan di sekitar musholla itu. Sekitar jam 3 sore tadi. Saat mencari celana biru SMP.
Tak jauh dari musholla, terdapat sebuah vihara. Kubaca tadi, namanya adalah Vihara Bodhisatva Karaniya Metta. Bapak cerita kalau vihara itu umurnya sudah sangat tua. Bahkan kalau tak salah, kata Bapak, tertua di Pontianak. Demi melihat nuansa kelenteng tua itu, aku teringat kejadian peresmian kelenteng di kampungku dulu. Bagian menarik adalah atraksi Lauya. Menusuk pipinya dengan kawat-kawat besi. Menusuk lidah. Tak terlupakan adalah bagian di mana si Lauya memotong lidah.

Kepalaku sempat memberat. Kulawan. Aku jaga agar mataku tak berkedip. Konon, dengan mata tak berkedip, kita bisa tahu sebuah atraksi merupakan tipuan atau bukan. Sampai mataku pedas dan berair, tak bisa kusimpulkan apa-apa. Kecuali ketakjuban melihat lidah terputus. Diletakkan di atas nampan putih. Darah mengucur. Pada mulut. Darah menggenang. Pada nampan.

Pada bekas potongan lidah dioleskan semacam pasta untuk hentikan pendarahan. Demikian pula pada potongan lidah di atas nampan. Kuyakin, tak cuma aku yang terpana.

Setelah melakukan beberapa jurus kungfu di atas bilah-bilah golok besar tajam, si Lauya kembali mendekati nampan. Ia membuka mulut. Bekas potongan lidah di dalam mulut jadi pemandangan aneh. Ketika ambil potongan lidah di atas nampan, ia desiskan mantera. Angin berkesiur. Bikin rontok daun-daun. Daun telingaku pun terasa dingin. Pelan-pelan ia arahkan potongan lidah ke mulut yang terbuka. Kuyakin lagi, bukan hanya biji mataku seorang yang seakan mencelat keluar, ketika si Lauya berhasil lekat-rekatkan lagi lidahnya ke keadaan semula. Kami semua bertepuk tangan. Bergembira.

Di sebelah timur musholla, ada steigher kapal-kapal Bandong jurusan perhuluan Kapuas. Bapak cerita tentang kisah-kisah di masa mudanya. Bagian favoritku adalah saat ia menjadi Kepala Koki kapal Bandong milik tauke Afuk. Berat untuk kupercaya bahwa Bapak pernah bosan makan ayam.

Mustahil rasanya. Aku saja, kalau ada acara selamatan, pesta pernikahan atau semacamnya di kampung, paling rajin memegang leher ayam saat disembelih. Juga saat membului. Sebab, ada semacam kesepakatan tak tertulis. Bagian ceker dan beberapa jeroan adalah bonus yang bisa dibakar terlebih dahulu. Tokh, aku tak bosan-bosan? Bahkan aku kerap berdoa agar tiap hari di kampungku selalu ada pesta.

Langit barat kian menggelap. Sorot lampu utama kendaraan, kadang ada setelannya yang ketinggian, bikin silau. Lelampu tiap depan kios luar Kapuas Indah Plaza, bikin suasana meriah. Demikian pula lelampu ruko-ruko bangunan-bangunan lain. Sampai di kejauhan sana. Bermandikan cahaya. Pontinak, berdandan melepas petang menyongsong malam.

Kulihat kiri kanan. Ada juga beberapa pemuda yang berlaku sama denganku. Menyimak pemandangan dari atas jembatan. Ada yang sendiri-sendiri, ada pula yang berpasangan. Si cowok menunjuk-nunjuk ke arah jauh, si cewek mengikuti dengan tatapan. Kemudian si cowok sepertinya bercerita sesuatu. Sesuatu yang lucu. Sebab setelah itu mereka tertawa. Lantas si cewek mencubit manja lengan kekasihnya, mungkin karena hatinya terhibur.

Ah, bikin iri saja. Ah, bikin hati luka. Aku teringat Utera.

Sementara itu, orang-orang yang berjalan meniti jembatan, tetap dengan irama khas, gegas. Ah, barangkali mereka semua adalah para pengurus revolusi. Kupejamkam mata kuat-kuat. Tarik nafas sedalam-dalamnya. Kemudian buka mata dan hembuskan nafas dalam satu hentakan. Pergilah dulu, Utera. Aku tak siap sekarang. Nanti aku bisa-bisa meloncat karena mengingatmu. Nah, kalau aku mati, keluarga pasti senang. Terutama bibimu. Nanti kau akan dijodohkan dan menikah dengan orang lain. Tak mau aku. Tak terima. Nah, kalau aku mati penasaran, nanti aku jadi hantu yang kerap mengganggu keluargamu. Jadi hantu, berdosa aku. Tak bisa masuk surga. Padahal di sana banyak bidadari. Karena diganggu aku yang telah jadi hantu, nanti keluargamu akan cari orang pintar. Lalu aku dimasukkan ke dalam botol. Tak mau aku, Utera. Tak rela. Jadi, bolehkan aku tak mengingatmu sekarang? Nanti malam sajalah kuingat kau. Sebelum tidur. Bolehkan, cantik?

Seekor burung layang-layang, dalam temaram lampu, terbang tak tentu arah. Sepertinya ia tak punya tempat bertengger. Hai, burung. Kita senasib.

Kulihat kiri kanan lagi. Tinggal satu orang di kiri dan satu orang di kanan. Yang lain mungkin telah hanyut dalam arus revolusi juga. Termasuk mereka yang tadi berkasih-kasihan. Baguslah. Memperkecil peluangku untuk melompat.

Ekor mataku menangkap gerakan. Seseorang, yang berdiri di kanan mendekat. Ha? Ia tersenyum ramah. Bagaimana ini? Senyum jugakah.

"Malam, Dik..."

"Malam..."

Oh. Laki-laki rupanya. Kupikir tadi perempuan tomboy. Abis, wajahnya cantik sih. Bajunya kaos putih.

"Lagi ngapain, Dik?"

"Lagi nunggu Bapak sholat."

Ngapain? Orang ini tanya aku dengan kata "ngapain"? Baiklah. Akan kuladeni dengan "elo-gua".

"Malam, Dek..." terdengar suara berat di belakangku. Spontan aku menoleh. Ughh. Seseorang yang tadi di kiriku tahu-tahu sudah sedemikian dekat. Tampan dan penuh bekas cukuran jambang. Pakai jeans dan baju kaos hitam.

Si cowok cantik tunjukkan ekspresi tak suka. Tapi si cowok tampan tampak tenang-tenang saja. Duh? Aku gigit bibir. Sakit. Emhhh...jadi aku bukan mimpi dan belum mati. Terpikir tadi, jika mereka adalah sepasang malaikat yang siap mengantarku ke gerbang akhirat.

"Eeh, osah na' ganggu'-ganggu', ye," ujar cowok cantik, "Kame' yang dolo'an nengo'. Ni kelinci kame', ye."

Si cowok cantik menarik lenganku. Aku bengong dan seakan terdorong menuju padanya.

"Nyaman jak. Nie Es lilin sayelah, ye..."

Si cowok tampan menarik lengan kiriku. Kuat. Kucoba meronta melawan. Tapi pegangan mereka sama-sama kuat. Aku persis celana jeans yang ditarik dua ekor kuda berlawanan arah dalam logo Levi's Strauss.

Saat aku bingung luar biasa, pegangan mereka tiba-tiba lepas. Setelah itu mereka lari ke arah kiri. Aku terduduk.

Tak lama kemudian terasa ada tangan memegang pundak dan angkat agar aku mau berdiri. Aku menoleh. Bapak. Wajahnya tampak geram menatap ke arah dua orang tadi berlarian.

oOo


05.03.13
REPUBLIK KANGKUNG
Part 1.
(Memenuhi janji pada Kak Yo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Support

Join My Community at MyBloglog!