"Kursi pelaminan biru... Dimalam pengantin..."
Sebuah lagu dangdut menyongsong kedatanganku. Lepas helm, masker dan sarung tangan, lantas bergerak ke bagian kasir. Si Kakak yang jaga, sedang ayunkan anak. Aku pesan teh hangat jumbo. Kuperhatikan, cuma ada sepasang suami isrti yang jadi pengunjung.
Warung ini model lesehan. Ruangan pengunjung di bagi tiga saf. Saf tengah, kosong. Kiri-kanan ditinggikan sekitar 30 cm. Kanan ada tiga meja. Kiri empat. Tikarnya jenis plastik motif kotak-kotak. Tiga sisi ruang pengunjung terbuka. Kiri, bersisian dengan sungai Kapuas. Kanan bersisian dengan tempat parkir yang bisa muat beberapa truk. Tempat parkir itu terhubung ke ruas jalan Sekadau-Sanggau.
Sedangkan sisi tengah, menghadap pada bidang tanah di depan, yang merupakan persinggungan antara sungai dan jalan raya. Pada bidang itu, terdapat sebuah steigher milik swasta. Ada ibu-ibu menyusui anaknya di bawah pohon ketapang besar. Steigher kosong. Tapi di bagian hilir, sebuah ponton feri bersandar. Posisinya agak serong dengan arah aliran sungai. Di sisi hilir ponton, sebuah kapal tandu bercat biru, siaga. Corong asap pada kap-nya keluarkan asap tipis. Mesinnya menggeram pelan. Pada bagian bawah kapal tandu, seorang abk tampak lelap.
Aku menuju lesehan kiri ujung. Sepatu boot yang kupakai timbulkan suara hentakan pada lantai papan. Taruh jaket, helm, masker dan sarung tangan ke meja. Kemudian mencari-cari toilet. Oh. Masih di situ rupanya. Aku menuju tailet yang terletak di bagian samping kiri dapur. Kembali sepatu boot mengetuk-ngetuk lantai. Berusaha melangkah pelan. Takut mengganggu balita yang pulas di ayunan. Kucoba dengan ujung sepatu menjejak lantai lebih dulu. Tetap saja keras. Aku yang derita hiv (hasrat ingin vivis) sejak keluar dari kota Sanggau, secepatnya tunaikan hajat.
Beres "buang-buang", kembali ke meja. Pesananku sedang diantar si Kakak. Suami istri pengunjung warung, selesaikan makan. Siap-siap mereka beranjak.
Aku lepaskan boot. Duduk. Lepaskan kacamata. Tapi kupasang lagi. Tatap ke depan.
Biasanya, kalau singgah ke Semuntai, aku punya warung kopi langganan di bagian hilir. Entah kenapa tadi kulewati dan kemudian singgah di sini. Warung ini cuma beberapa kali kusinggahi.
Aku bersandar ke tiang warung. Langit cerah. Awan setumpuk dua. Hawa gerah. Pikiranku kemana-mana.
Kapuas di kiriku, tampakkan arus tenang. Membayang air yang meng-"ulak". Tak ada kendaraan sungai yang lewat. Cuma ada "kapar" yang konvoi dalam partai-partai kecil. Di seberang, sebuah ponton bersandar. Kesepian. Di depan sana, sungai berbelok tajam ke kiri.
Jalan raya di kananku. Menikung tajam ke kanan. Ada sejumlah rumah penduduk serta pohon-pohon kelapa sawit milik MPE. Lalu-lintas ramai. Putaran roda silih ganti mengangkat debu.
Kuraih gelas. Teguk. Baru kusadari, lagu sudah ganti. Sekarang sedang pada nomor Get Lucky dari Daft Punk Featuring Pharrell Williams. Boleh-boleh juga rentang minat musik si pemilik warung. Tapi bagaimana si balita? Aku menolah. Masih nyenyak.
Terdengar sepeda motor dihidupkan. Di parkiran, suami istri pengunjung warung tadi, pelan bergerak menuju jalan raya. Aku baru mulai, mereka sudah pergi. Emh. Apakah benar-benar ada batas tegas awal dan akhir? Kuraih EGE. Siap mencatat.
Tiga buah sepeda motor metik singgah. Anak-anak gaul. Berpasangan. Dari bahasanya, terdengar logat bahasa Melayu Pontianak yang "koruk-makuk". Sisa-sisa bahasa Melayu Senganan Sanggau tak dapat mereka sembunyikan. Malu barangkali mereka berbahasa ibu. Tapi, ah. Jangan-jangan aku yang kelewat bigot. Bukankah dalam komunikasi yang terpenting adalah sampainya pesan pada penerima? Kenapa aku resek dengan bahasa mereka? Memangnya siapa aku ini? Bapak mereka? Penanggungjawab bahasa?
Kuingat beberapa hari lalu. Ngobrol dengan beberapa kawan di halaman Taman Budaya Kalbar. Satu kawan bercerita. Saudaranya yang kuliah di Jakarta, begitu balik, tak mau lagi pakai bahasa Melayu Pontianak. Aneh, kan? Sedangkan di tingkat kabupaten di Kalbar, anak-anak mudanya merasa gaul kalau pakai bahasa Melayu Pontianak. Sedangkan di Pontianak, ada anak muda Pontianak yang gemar ber-elu-elu-gue. Nah, bagaimana dengan di Jakarta? Bagaimana dengan anak-anak muda yang kuliah di LN. Ada dari mereka yang gemar "nginggris". Hehe...bahasa, oh, bahasa...
Kemudian, bagaimana dengan orang bule yang keluar angkasa? Apakah mereka malu dengan bahasa ibu jika bertemu alien?
Kuangkat gelas.
18.08.13
Catatan Perjalanan: Semuntai (Lagi)
04/01/15
SEMUNTAI (Lagi)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar