Faktor mata. Tepatnya faktor "U".
Lepas Magrib, beranjak dari Aur Kuning. Tak lama kemudian, aku memasuki "twilihgt zone". Sorot tajam si Biroe membundar sampai ke pucuk-pucuk pohon. Sementara langit barat, menyisakan cahaya samar. Dalam konstelasi mendung, samar cahaya yang mengintip membentuk karakter-karakter khas, yang tak malu-malu kuakui, membuat bulu kuduk berdiri. Demikian pula formasi tetumbuhan. Batang tubuh pohon, dahan dan ranting. Juga dedaun yang melambai-lambai. Kadang serupa atlet binaraga yang ramah menyapa. Tetumbuhan semak-perdu, menyimpan hawa ganjil.
Berkali-kali kuucap doa. Dari doa yang lazim, sampai harus menyusun ulang doa-doa yang jarang kubaca. Dibeberapa kesempatan, kuikrarkan Sumpah Pemuda. Ikrar ajaib yang sampai sekarang tak diketahui perwakilan dari Borneo siapa.
"Bertemu lampu dalam perjalanan jauh, malam hari, seperti menemukan emas," demikian kuingat ujaran sahabatku, Pak Analisis yang super sabar itu.
Betul. Kuingat pula, pernah menempuh ruas jalan Aur Kuning-Sandai, di atas jam sepuluh malam, saat masih jalan tanah dan kondisi hujan. Uap panas tanah naik, menjadi sosok-sosok aneh... Belum lagi teringat cerita tentang ruas-ruas tertentu yang memiliki cerita. Uhhh...
Begitu tampak terang di depan. Aku berucap syukur. Meskipun itu kendaraan dalam kondisi berpapasan. Sekalipun membuat silau. Lebih lagi karena berkacamata. Tak apa. Seakan ada teman seperjalanan. Terang lagi depan, tapi sumber sorotan dari arah belakang, bersyukur lagi. Ada mobil. Ada sepeda-sepeda motor kecepatan tinggi. Kususul dengan gigih. Beberapa tikungan hilang. Tetap menjaga kewaspadaan, ada lagi sepeda motor menyusul dari belakang. Begitu melewatiku, kususul lebih gigih. Beberapa tikungan, hilang lagi. Mata. Mata. Mata. Faktor "U" tepatnya...
Akhirnya, dengan hati pilu, kubawa si Biroe dalam kecepatan alamiahku yang tertinggi. 60 km/jam.
Orang sabar, belum tentu bernama Sabar. Dengan kecepatan terbaikku itu, sampai juga aku di persimpangan yang sangat kukenal. Dulu ada tulisan SANDAI pada sebuah papan. Kini tak ada lagi. Aku meliuk mengikuti postur jalan. Tak lama, sampailah di perempatan Sandai Kiri. Ramai. Pantas kota bersejarah ini digadang-gadang menjadi calon ibukota kabupaten baru. Melewati jembatan. Menoleh ke kanan. Suasananya mirip di Sanggau. Bedanya, di jembatan Pawan Sandai, kiri kanan terang. Di Sanggau, terang cuma satu sisi. Ah, ingat soal jembatan Sanggau yang gagal bangun itu, hatiku bagai dimasukkan ke dalam penggorengan.
Papasan dengan pasangan muda yang sedang bersantai di tepi jembatan, aku melempar senyum. Reaksinya selalu sama. Si penerima lemparan senyum akan balas senyum secepatnya, detik berikutnya, jidatnya akan bekernyit. Memanggil memori. Kira-kira kenal tidak dengan si pelempar senyum ini. Kemudian si penerima lemparan senyum akan menatap pasangannya. Bangga. Punya banyak kawan. Lantas jadi bahan obrolan seru dengan pasangannya. Pernah ketemu di mana, ya, dengan orang yang mirip SRK itu? Si pelempar senyum ini kemudian senyum untuk dirinya sendiri. Bisa membuat bahagia si penerima lemparan senyum yang sama sekali tak dikenalnya. Andaipun si penerima lemparan senyum berpikir lurus, dengan mengira si pelempar senyum ini menderita kelainan senyumkholik, tak apa-apa. Tak perlu marah-marah. Benarkan saja dugaannya dengan tersenyum pada tiang listrik. Beres perkara.
Sampai di seberang jembatan, kuambil jalan lurus. Jalan kebenaran. Jalan yang...eh. Kok jadi mirip khotbah? Maaf. Ulangi, ya. Kuambil jalan lurus. Jalan ke kanan ke arah pasar. Nanti, jalan pasarpun akan ketemu jalan lurus ini. Sambil senandungkan lagu Cakra Khan, sampai juga ke persimpangan. Segera kunyalakan sein kanan. Menepi. Warung langganan lagi? Iya. Ini warung langganan kujuga. Posisinya strategis. Toiletnya unik, berjendela.
Begitu, turun dari si Biroe, terdengar lagu dari dalam warung. Lagu Stasiun Balapan.
20.12.12
Catatan Perjalanan, Aur Kuning-Sandai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar