Jika dari arah Sekadau menuju arah kota Sanggau, setelah melewati Semuntai kita akan bersua pada sebuah persimpangan. Jika ke kanan, maka akan jalan akan menanjak, memutar bagian belakang desa Penyeladi. Di jalan itu, sekitar pertengahan, ada obyek wisata unik. Gurong Posok. Riam dan air terjun yang bukan air terjun, lantaran aliran airnya melewati gua. (Gurong (guRokng)= Lubang; Posok= Tembus; Bhs. Melayu Senganan Sanggau, Kalbar).
Jika memilih kiri, maka akan melewati ruas jalan penuh cerita. Jalurnya mengikuti tepian Kapuas. Ujungnya ke desa Penyeladi juga. Bertemu lagi dengan ujung jalan kanan tadi.
Lazim, orang-orang menyebutnya jalan Kapit.
Biasanya, aku akan berhenti tanpa mematikan si Biroe. Menatap saksama ke depan. Biarpun di sekitar situ sudah ada bangunan warung, tetap saja tajuk-tajuk pepohon dan dahan yang menaungi jalan, menjadi serupa gerbang selamat datang. Pelan saja, mengucap salam. Kemudian tarik gas, jalan. Kedipkan mata beberapa kali, menyesuaikan cahaya. Paling terasa adalah silang menyilang liana, serta rerumput dan pakis yang merangkak menelan tepi aspal. Lantas ada beberapa batu besar, kenang-kenangan longsor tebing atas kanan. Di sebelah kiri adalah jurang tepi Kapuas.
Dulu, lebih dari satu dekade lalu, saat kendaraan roda empat masih boleh lewat, jalan Kapit menggoreskan banyak riwayat. Kendaraan-kendaraan yang terguling, jumlah korban, gangguan mistis, penampakan dan lain sebagainya. Maka pengendara disarankan membunyikan klakson pada tikungan tertentu.
Setelah beberapa kali tikungan, maka di sebelah kanan akan tampak areal lumayan terbuka. Tebing dan pepohon berselimut "kemibik", semacam tanaman merambat. Selimut hijau, agung dan meraksasa. Seolah dibalik selimut tersebut ada bangunan-bangunan klasik yang disembunyikan dari laju peradaban.
Berikutnya, dedahan pohon lebih rendah. Liana-liana seakan menari dan kemudian dibekukan oleh mantera rahasia. Areal terbuka di sebelah kanan, berubah menjadi dinding batu. Lumut hijau kehitaman. Basah. Tak cuma mewariskan garis-garis kerja proyek jalan sebuah perusahaan Australia berpuluh tahun lalu, tapi juga karena ia adalah batu, tiap noktahnya adalah pesan purba. Ketika noktah itu disalinghubungkan, maka sensor-sensor dalam batok kepala serta perangkat rasa, menerjemahkan sebagai paraeidolia. Karakter-karakter tertentu, kadang serupa paras raksasa ramah yang sedang tersenyum.
Beberapa tikungan, maka di sebelah kiri terhampar pemandangan Kapuas. Selalu aku tersenyum di situ. Ingat perangai kanak-kanak dulu. Di seberang sana, di bagian tanjung, dua kapal klotok, masing-masing milik Pak Syukur dan Ipal, berlomba menuju finish di dermaga pasar Senggol. Di dalam kapal-kapal klotok itu, para kanak akan berlomba menjulurkan kepala. Setiap mata awas sebab rerata adalah keturunan pemburu rimba Borneo. Lantas akan terdengar seruan: "Mobellll...!!! Mobelll!!!... Mobelll...!!!"
Beberapa mobil memang melintas di jalan Kapit. Tiap mata kanak-kanak itu akan memandang takjub. Pikiran terbang kemana-mana. Kemudian saling pandang bahagia. Seolah bersepakat dengan sebuah tanya: "Kayak apa, ya, rasanya naik mobil?" Setelah itu, sebelum klotok menyeberang dan jalan Kapit masih dalam jangkau pantau, bersiaga lagi mengintai sosok mobil berikutnya.
Kenangan bahagia itu, kerap membuatku lupa, hingga memaksaku menarik ruas rem cakram tiba-tiba. Sebab di depan, jalan genting. Cuma bisa di lewati satu sepeda motor. Ajaibnya, jika di sini, orang-orang tiba-tiba menjadi sedemikian tertib dan sabar. Tanpa petugas, semuanya menyesuaikan diri untuk melintas.
Beberapa kelokan lagi, sampailah kita ke desa Penyeladi. Jika siang, maka kita akan sering menemukan orang-orang beristirahat di Jalan Kapit. Tak takutkah mereka dengan riwayat? Mereka tak tahu? Atau riwayat yang menjadi tahu diri hingga tak mengusik orang-orang yang lelah dalam perjalanan? Entahlah. Apapun itu, bagiku, jalan Kapit adalah jalan kesunyian. Di mana sunyi benar-benar bersua tebing batu dan batas muka air Kapuas.
18.12.12
Catatan perjalanan, Kapit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar