Dua tong air berwarna oren di
seberang jalan, kontras dengan
warna-warna
lain di sekelilingnya. Aku sedang
di warkop Mantap. Dulu ini adalah
toko
sepatu. Di seberang warkop ini,
terdapat warkop yang melegenda.
Warkop
Among. Nah, dua tong oren yang
kumaksud, tepat di bagian
samping dapur
Warkop Among.
Baik Among maupun Mantap,
sedang jam ramai pengunjung.
Biasanya, dengan
sendirinya aku mengamati orang-
orang. Sebab, manusia, siapa pun
itu,
menarik. Tapi kali ini, aku terpikat
pada tong air. Dari posisiku duduk
sekarang, tong kiri bergambar dua
buah manggis. Eh, jeruk? Atau
buah
"tampui" yang bisa bikin mabuk
itu? Entahlah. Ada dua bulatan,
berdempet.
Bertangkai dan berdaun.
Emhhh...jeruklah kayaknya itu. Di
bawah gambar
buah, ada tulisan "Oren". Hehe...si
pembuatnya seakan tak percaya
bahwa
warna tong air itu oren. Kemudian
tong kanan, sedikit lebih besar ada
gambar dan tulisan "Jerapah".
Tapi kenapa kuperhatikan tong?
Emhhh...tak tertarik lagikah aku
dengan
manusia? No, no dan No. Aku
kehilangan sesuatu. Mapping
dalam benakku,
mengidentikkan tong air oren
dengan binatang ekselen bernama
Pinguin. Nah,
karena ketidakcocokan mapping
dengan yang tampak di depan,
makanya naluriku
tertarik. Tiba-tiba aku teringat
Quantum Learning. Sesuatu yang
kontras,
cenderung lebih bisa diingat.
Kontras pertama, dalam kasus ini,
warna.
Kontras kedua, tidak cocok
mapping dan kenyataan.
Emhhh...masuk akal.
Sebagaimana masuk akalnya aku
tak mau jalan bareng Shah Rukh
Khan, Chef
Juna, Suju, Jhony Deep dll. Sebab,
aku tidak akan kontras dengan
mereka....
Hak... hak... hak...
Eh, sapi melintas. Eit! Bukan sapi
benaran sedang melintas di jalan
depan.
Bukan. Tapi ide tentang sapi
melintas dalam benakku. Sudah
ada belum, ya,
tong air dengan cap dan merk
"Sapi"? Sapi? Hehe...tepat,
saudaraku. Aku
sedang menyenggol sapi
berjanggut.
Kasus Century dll membuka mata
kita tentang ketidakberesan
urusan politik
dan ekonomi. Mengganggu para
pengusaha dan politisi yang baik.
Kasus garam
pada jaman menteri Fadel,
membuat kita tahu bahwa
kebijakan politik-ekonomi
negara ini hanya remote pihak
asing. Sengsaranya, bagian untuk
petani
garam. Kasus Hambalang
menyadarkan kita kenapa
pembinaan olahraga di negara
kita hanya sekadar ada. Mimpi
juara dunia dlsb adalah utopia.
Ketiban
nestapa jelas para atlet. Dan lain-
lainlah. Hingga kasus sapi ajaib
kita
sekarang ini. Terjawablah, kenapa
para peternak tak berjaya di tanah
air
sendiri. Kenapa anak-anak muda
malas jadi petani dan peternak.
Tokh, buat
apa jadi petani dan peternak atau
nelayan? Sebab, anak-anak muda
kebanyakan, melihat hal tersebut
sebagai profesi masa silam. Orang
tuaku
petani. Aku harus bisa jadi pejabat
atau politisi. Sebab lain, "politik
batas lapar perut" yang dimainkan
dengan cantik oleh kuasa jahat di
pusat
kekuasaan sana, menyebabkan
harga produk pertanian,
perikanan, peternakan
dll tak seberapa. Tak bisa bikin
kaya. Padahal, jika negara ini
benar-benar
berdaulat, kenapa takluk pada
dikte politik-ekonomi negara lain?
Kalaulah
ada sedikit saja, iya, sedikit saja
keberanian sebagai bangsa
berdaulat,
anak-anak muda akan bangga
menekuni pertanian, perkebunan,
perikanan...
Bukankah potensi kita ganda?
Sebagai bangsa agraris dan bahari?
Tidak
berdaulat penyelenggara
kenegaraan, menyebabkan peluang
bin potensi berubah
menjadi kelemahan sekaligus
ancaman.
Jadi, kita bisa melihat.
Unitarianisme melahirkan celah-
celah potensi
penyalahgunaan kekuasaan untuk
memperkaya diri. Godaan berat
bagi siapapun,
termasuk insan-insan yang tiap
lima waktu "lutap-latup"
menghadap Tuhan.
Konsekuensi berikutnya, jika dapat
dipahami bahawa Unitarianisme
menyebabkan korupsi dan korupsi
bisa hancurkan negara... Masihkah
ngotot
bodoh pertahankan Unitarianisme?
Apakan orang-orang yang
mengklaim "NKRI
harga mati" sesungguhnya
nasionalis? Tidakkah justru
mereka kini sedang
bahagia memanfatkan kelemahan
utama unitarinisme?
Kutatap tong air oren kanan di
seberang jalan. Emhhh... Kalau
lehernya
dipendekkan, perwajahannya
dimodifikasi sedikit, itu bisa jadi
sapi.
04.02.13
Catatan Warung Kopi,
Unitarianisme & Kekasihnya yang
Bernama Korupsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar