Setelah melewati jembatan goyang, Ngah putuskan belok kiri. Kalau lurus, ia akan langsung ke rumah. Tapi ia ingat. Pagi tadi susah sekali hidupkan sepeda motornya. Memasuki jalan kiri, ia kendurkan gas. Tarik kopling, pindah ke gigi rendah. Jalan semen di depan, menurun tiba-tiba dan rusak. Ngah sampai harus angkat pantatnya dari jok ketika melewati jalan semen yang pecah. Terdengar suara benturan di bagian depan. Pasti spatbor depan terkena besi dasar dari segitiga stang. Ngah geleng-geleng kepala. Minggu lalu, saat ia melewati jalan ini, belum terlalu parah. Mungkin musim hujan yang membikin lubang pecahan semen semakin dalam.
Melewati samping kompleks puskesmas, ia melihat Ian, kawannya yang bertugas di puskesmas, melambai. Ngah senyum saja seraya bunyikan klakson. Tak mungkin ia balas melambai, kecuali berhenti sekalian. Sebab, jalan di depan mengecil dan menikung. Mungkin Ian ingin mengingatkan tentang rencana mancing nanti malam. Nantilah, kukirim sandek (pesan pendek), pikirnya.
Ngah terus melaju dengan kecepatan di bawah 10 km/jam. Ini pemukiman padat. Selain kondisi jalan semen yang kian payah, anak-anak kecil kerap melintas tiba-tiba. Jadi ia mesti waspada. Belum lagi soal hewan peliharaan. Kadang hewan-hewan itu enjoy tidur-tiduran di tengah jalan. Benar saja. Ngah lambatkan laju sepeda motornya. Di depan, beberapa ekor bebek mandi berkubang pada sebuah genangan. Jalan semen rusak yang mendanau. Aih, kalau mau mandi-mandilah, pikir Ngah. Lima ekor bebek seperti sedang rayakan Hari Kemerdekaan di dalam kubangan. Saling kejar, saling patuk, merdeka. Tapi sejumlah yang lain, duduk malas-malasan di sekitar danau jalan. Penuh. Tak ada yang benar-benar menonton atraksi di kubangan. Mereka duduk-duduk saja, tanpa gairah. Kombinasi sempurna apatisme dan frustrasi. Mirip anak-anak muda manusia yang terjebak pergaulan salah.
Tak ada celah buat Ngah lewat. Jadi, terpaksa ia berhenti sebentar. Sambil menarik tuas kopling, ia mainkan tuas gas. Bebek-bebek dengan perilaku tanpa masa depan itu, satu dua menoleh. Terusik. Tapi, ya, hanya menoleh saja. Titik. Setelah itu kembali tenggelam dalam lamunan tak tentu. Hih! Kalau kulindas saja mereka, bagaimana? Pikir Ngah. Otaknya mulai kriminal. Tapi janganlah. Mereka tak mengerti undang-undang lalu lintas. Trus, apa harus balik arah? Repot. Mutarnya jauh. Lewat kantor kecamatan sampai pasar. Ada satu kilometeran itu. Lalu? Turun dari sepeda motor, hampiri bebek-bebek itu, kemudian negosiasi, gitu? Ah, jangan-jangan mereka jauh lebih jago diplomasi. Lihat saja kelakuan wakil rakyat. Membebek sama partainya. Sekali punya kesalahan, ngeles nomor satu. Eh? Kok jadi ke situ?
Ngah menoleh kiri kanan. Rumah-rumah warga tertutup. Jam segini, warga dewasa biasanya masih di kebun. Tapi entahlah. Musim hujan begini, susah warga mau menyadap karet. Ya, sudah. Aku turun, kata Ngah dalam hati. Bukan untuk negosiasi. Tapi usir mereka. Cukup untuk bisa lewat, lumayanlah.
Ngah putar kunci kontak. Tapi olala... di depan, beberapa kawanan bebek dari kiri kanan jalan, lenggak-lenggok menuju kubangan jalan semen yang mendanau itu. Kerumunan semakin ramai. Ihhhh...!
Ngah tak peduli. Mau datang bebek-bebek sedunia ke sini, terserah. Dengan hati geram ia menuju tepi pagar rumah warga. Ada sepotong bambu tersandar. Ketika hendak menjangkau bambu, pintu rumah terbuka. Ngah siap-siap minta maaf sekaligus minta izin pinjam bambu.
Mula-mula tampak lengan. Perempuan itu, simpul Ngah. Lengan itu membuka daun pintu dengan gerak yang dramatis. Benar, kan? Sebab pangkal lengan itu kemudian nampak. Perempuan itu kenakan baju terusan motif kembang. Ketika sosok itu tampak semuanya, jelas itu perempuan. Sayangnya, membelakangi Ngah. Sepertinya ia sedang memberi ganjalan pada bawah daun pintu. Kakinya menggeser-geser sesuatu seraya tangannya sesekali menarik daun pintu. Kalau sudah diganjal begitu, artinya pintu akan terbuka dalam waktu relatif lama. Tapi, biarpun dari belakang, sosok itu asing bagi Ngah. Oh. Inikan rumah Bang Tanto yang kerja di sebuah Credit Union itu? Jelas itu bukan Kak Mar. Kak Mar rambut pendek seperti pasukan paskibraka. Jadi siapa?
Eh? Eh?! Halo??... Sosok itu lalu masuk ke dalam lagi. Begitu saja. Ngah melongo. Harapan Ngah tadi, perempuan itu akan berbalik. Kemudian mereka saling lihat. Saling kaget. Trus Ngah akan minta maaf sesuai rencana. Pinjam bambu untuk usir bebek. Beres urusan bebek, kembalikan bambu. Ucapkan terima kasih. Sesederhana itu saja. Bisa jadi pula, perempuan itu yang minta maaf. Ambil misal, bebek-bebek yang merenggut haknya sebagai pejalan, milik Bang Tanto. Si perempuan itu yang kemudian berkeras agar dirinya yang usir bebek. Tapi tentulah Ngah tak mau. Ngah akan tunjukan dirinya berjiwa ksatria. Menolak elegan permintaan si perempuan. Kemudian dengan langkah-langkah matador mengusir para bebek. Begitu saja. Tak lebih. Ini? Buka pintu, kasi ganjalan, tunjukan belakang tubuh, main masuk ke dalam. Sok cantik. Eh? Jangan-jangan itu keluarganya Bang Tanto. Mungkin adiknya atau adik iparnya. Nantilah kucari tahu.
Ngah ambil bambu dan siap melangkah bak Rambo ke kerumunan bebek. Sendirian saja akan ia bereskan bebek-bebek itu. Tapi...bebek-bebek itu sudah bubar. Tinggal dua ekor yang masih duduk. Itu pun di bahu jalan. Lainnya tampak beriringan menuju sungai. He. Mungkin mereka sudah selesai demonstrasi dan sekarang lagi antrian nasi bungkus. Ngah geleng-geleng kepala. Meletakkan kembali bambu ke pagar. Lalu berjalan ke sepeda motornya. Setelah duduk di jok dan memutar kunci kontak, ia menekan tombol electric starter. Hidup. Putar tuas gas. Tapi terdengar tak stabil. Kemudian mati. Huh. Memang harus ganti aki. Start lagi. Cuma terdengar bunyi klik-klik. Ngah mendengus lagi. Angkat tubuhnya dari jok. Sekarang tubuhnya bertumpu di kaki kiri. Kaki kanannya geser posisi batang starter kaki. Tekan kuat-kuat. Sekali saja. Sepeda motornya hidup. Mainkan gas. Rapikan batang starter kaki. Stabil suara mesinnya. Huh. Mau ke bengkel saja banyak cobaan. Ia tarik tuas kopling dan siap masukkan gigi pertama. Kesempatan ia menoleh sebentar ke arah pintu...Haaa???
Tak sadar ia lepaskan tuas kopling. Mesin mati tiba-tiba. Tubuhnya sedikit tersentak mengikuti hentakan sepeda motornya. Terselip rasa malu. Tapi tak peduli. Sosok di ambang pintu itu membuatnya tak peduli apa-apa. Termasuk apakah jantungnya masih bertugas di dada kiri atau sudah rontok menggelinding ke jalan semen, terserah. Tak ingin ia tutup kelopak matanya. Takut. Sekerjap saja tutup kelopak mata, sosok itu hilang lagi seperti dulu. Sebab, sosok di depan itu bukan lagi bidadari. Tapi komandannya bidadari. Sebab, inilah sosok yang sangat di kenalnya. Dikenal bukan dalam dunia nyata. Tapi dikenalnya ketika alami mimpi bungas bujang dulu...
Pedas matanya. Akhirnya...blep. Ia mengerjap. Ah. Sosok itu masih ada. Komandan bidadari itu menatapnya keheranan. Cepat-cepat Ngah pasang senyum terbaik yang ia bisa. Betul-betulkan posisi duduknya. Tegapbusungkan dada layaknya perwira ke medan laga.
25.04.13
Sebuah cerita, judul sementaunnya: PERTEMUAN #1
26/10/14
PERTEMUAN #1
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar