04/01/15

PALEM TUNGGU SI CANTIK

Deretan palem yang memagari jalan, serupa kokoh phallus menuding langit. Pelepah-pelepahnya yang mekar ke segala arah, menjadi semacam semburan hasrat yang dibekukan tiba-tiba. Tiang-tiang telepon terpacak dalam jarak tertentu. Sebuah rambu kuning berisi gambar anak-anak berjalan. Sebuah truk ekspedisi, parkir dengan kelap-kelip lampu sein kanan.

Aku masih memikirkan kemarahanmu, Cantik.

Hutan yang menjadi latar pemandangan di depan sana, menggariskan kontur pepohonan. Hitam. Serupa garis pita tak beraturan yang dibentangkan untuk menjaga kanak-kanak dari mimpi buruk. Di balik pita hitam, langit masih menyala.  Sisa-sisa kiriman cahaya matahari yang ambruk di ufuk barat, berikan sapuan kelabu, biru pucat dan jingga.

Aku takkan memulai komunikasi, Cantik. Kecuali kau meminta. Aku berusaha. Biarpun kuat hasrat bertukar salam dan sapa seperti biasa. Seperti yang aku bilang, aku bukan kucing.

Jam-jam seperti ini, kendaraan-kendaraan antar kota berparade. Lebih banyak adalah truk-truk ekspedisi, juga taksi-taksi yang berkejaran. Jalan Ahmad Yani di depan riuh. Sesekali terdengar klakson mengimbangi deru mesin.

Langit nun di sana, makin gelap. Lampu merkuri di parkiran warkop menyala. Namun cahayanya uzur. Laskar burung layang-layang berakrobat, mengingatkanku pada taburan kata-kata penyair plastis yang hanya pentingkan rima, bukan makna. Lalu, burung-burung itu hinggap pada bentangan kawat-kawat listrik. Siap rehat setelah berkelana seharian dari ladang ke ladang.

Masih marah kau, Cantik? Tahukah kau betapa kukangeni emotikon titik dua tutup kurungmu?

22.11.13
Catatan warkop: Palem Tunggu Si Cantik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Support

Join My Community at MyBloglog!