Kembali dari pemakaman, bertemu Din, anak sulung almarhum pamanda Dorsyah. Kutanya, apakah Yak Taher nanti malam akan datang? Din mengangguk. Lalu kusampaikan pula keinginan berbincang lama dengan beliau. Din menyanggupi.
"Beropai ari beropai malam, anal sentuwa nya bedabol. Mada ulih Aba in ngelawatn-ah." (Berapa hari berapa malam pun, mampu beliau berbincang. Tak mampu Abang melawannya).
Perihal kedigdayaan tersebut, sudah lama kutahu. Tak ada niat melawan tanding siapa yang jago ngembun. Sudah pasti aku kalah. Kalah pertama, kalah jam terbang. Kalah kedua, kalah pengetahuan. Justru, pada beliau aku akan belajar. Kusampaikan itu pada Din, ia memahami.
Aku kembali ke teras depan rumah Cungek. Berbincang dengan Udi, abang Yoga, yang sibuk mempreteli sepeda motor. Aku monda-mandir. Lihat ke kiri, tampak bangunan sekolah dasar. Ke belakang, jalan menuju sungai. Ke depan, rumah tetangga. Lihat ke kanan, jalan semen menghilang pada pertemuan tajuk-tajuk pepohon di kejauhan sana. Pohon-pohon besar itu, yang tak kuketahui namanya, rimbunnya menyembunyikan sesuatu. Memanggil-manggil. Sampai kemana jalan itu?
"Di, Abang nak begoyap kulu. Niti jalatn belakakng tuk". (Yudi, Abang mau jalan-jalan ke hulu. Melewati jalan belakang ini).
Beberapa saat kemudian, aku sudah melangkah. Melewati pagar-pagar kebun sayur, simpang jalan ke pemakaman, kemudian beberapa rumah baru berdesain modern. Cenderung ke gaya mediteranian. Cat-cat rumahnya pun cerah semarak. Kontras, namun "masuk" dengan suasana sekeliling.
Di halaman sebuah rumah, aku tertarik dengan aktivitas seseorang yang sedang membuat "perahu timau". Aku senyum dan memberi tabik. Orang itu melongo. Tenang. Aku sedang pakai kacamata. Meskipun aku lupa nama, tapi aku tahu orang itu dulunya karyawan almarhum Kakek. Aku mendekat.
"Erin-kah?"
Aku mengangguk. Ia hentikan akivitasnya. Kami bertukar kabar. Namun karena aku tak mau mengganggu, serta masih ingin meniti ke hulu, aku undur diri. Melewati beberapa rumah yang lengang. Pemiliknya mungkin sedang bekerja dan istrinya membantu kerja di rumah yang berduka. Aku jalan lagi. Pohon-pohon. Jalan agak berbelok ke kanan. Aku bertemu dengan bagian dapur dari sejumlah rumah.
Rerata masih dengan pola konvensional. Teras dapur, kemudian dapur utama. Dapur utama biasanya terhubung dengan lorong rumah utama. Nah, di samping lorong, ada areal terbuka untuk aktivitas cuci piring dlsb. Terbuka karena tanpa atap. Tapi berpagar tinggi dan rapat. Biasanya pula, pada areal terbuka itu, ada "pelompai" alakadarnya. Sedangkan teras dapur, tak terlalu fungsional selain untuk menaruh bak cuci kaki dan alas kaki, serta perangkat kerja cocok tanam. Di area bawah, tetumbuhan bumbu dan obat. Paling lumrah adalah kunyit dan sirih. Radius lima sampai sepuluh meter, pohon-pohon buah. Dari jambu bol hingga "rambutan klotok".
Aku menebak. Sepertinya aku sudah melewati bagian belakang rumah Pak Apot. Jalan lagi. Papasan dengan beberapa anak kecil membawa ketapel. Mereka "nyaruh" melihatku. Kupanggil mereka.
"Anak sopai kitak tuk?" (Kalian ini anak siapa?)
Mereka menyebut beberapa nama yang kuketahui terhitung sepupu dan ponakan. Kukenalkan diri sebagai Tam Erin. Mereka bingung namun waspada. Bagaimana ini? Emhh...Anak kedua almarhum Ai Uwa Rawan, terangku lagi. Sontak mereka angguk-angguk antusias. He. Beginilah nasib orang yang jarang pulkam.
Kupinjam ketapel mereka. Kerikil peluru, kuperkirakan mereka ambil dari muara sungai muntik di tengah kampung. Wadah anyaman tempat kerikil masih basah. Kuambil ketapel bergagang besi yang disodorkan anak yang paling besar. Karetnya dari karet pentil ban dalam sepeda. Berpilin sekitar tujuh karet pada setiap gagang. Lumayan berat saat kucoba regangkan. Seorang anak yang pakai baju bola kesebelasan Spanyol, sodorkan wadah anyaman. Kuambil sebutir kerikil.
Kutaruh kerikil pada bagian kulit pelontar. Kuregang-regangkan lagi, sambil mencari-cari sasaran, untuk mengetahui regangan terjauh. Aksiku profesional. Tatapan mereka menilaiku. Dengan tangan kiri, kutunjuk selembar daun.
"Dautn mirah nyak bah." (Daun merah itu, ya).
Entah pohon apa. Jaraknya sekitar duapuluh meteran. Mereka mengangguk dan tanpa sadar bentuk formasi setengah lingkaran mengelilingiku.
Atur nafas. Pasang kuda-kuda. Komat-kamit baca Pancasila. Konsentrasi. Tarik. Bidik. Kerikil menderas ke sasaran. Selembar daun tampak bergoyang dan koyak. Kena! Kena pada daun hijau. Huh! Aku geleng kepala. Mereka ikut geleng kepala kecewa.
"Dari jeman mari', Tam Erin tuk memang ajopm penekar," ujarku obati kecewa mereka. (Dari jaman dulu, Tam Erin ini, memang tak mahir membidik).
Kuucapkan salam, lanjutkan perjalanan. Tak lama meninggalkan anak-anak itu, kulihat ada jalan tanah ke kiri. Cukup lebar. Entah, mungkin dengan kerja bakti atau dengan alat kerja perusahaan sawit di belakang kampung sana. Jalan itu rapi. Cuma tergenang. Banyak bekas ban sepeda motor. Ini jalan ke kebun sawit atau ke Sanggau? Entahlah. Lanjut lagi.
Mataku menangkap gerak seorang anak gadis cantik menuruni tangga dapur. Rambut panjang. Pakai baju kaos biru. Gegas. Tangan kanannya menggengam ponsel. Sampai di tanah, tampak ia menekan tuts ponsel. Mungkin mengirim pesan pendek pada kekasih. Ia menoleh, melihatku. Kuberi senyum. Ia kaget. Langsung menghambur naik lagi. Mungkin beberapa anak tangga ada yang terlewati. Sosoknya hilang di balik pintu dapur. Glegh? Anggap saja ia terpesona. Hik-hik.
Jalan lagi. Tak berapa jauh, aku berbalik tiba-tiba. Si anak gadis tadi terpergok mengamatiku dari jendela. Kana kau! Kuangkat tangan. Memberinya sebuah lambaian. Aku balik badan lagi. Melangkah.
Pada sebuah tempat, kulihat ada areal pemakaman. Aku lupa nama pemakaman ini. Nisan-nisannya berjejer rapi. Tapi, pasti sudah dekat masjid. Masjid? Tiba-tiba saja benakku mengharu. Tahun lalu, sebelum puasa, ayahnda berpulang. Tepat sebelum laksanakan sholat magrib.
Benar. Dinding belakang masjid tampak di depan. Kukuatkan hati. Semakin dekat. Pada sebuah jalan pintas, aku berbelok menuju masjid. Terlihat bangunan khusus untuk wudhu. Seingatku, dari cerita-cerita keluarga, ayahnda cukup lama bersandar ke bangunan itu sebelum kemudian jatuh.
Benakku tiba-tiba dipenuhi aneka layar. Tak terhitung. Menari-nari. Berebut perhatian. Suasana setelah kabar Ayahnda masuk rumah sakit. Detik-detik terakhir almarhum di dipan ICU RS. Antonius Pontianak. Kabel-kabel. Selang-selang. Bau obat. Cat putih ruangan. Monitor dengan garis hijau lurus. Perawat-perawat yang luar biasa tetap berusaha. Tatapan Abang sulung dan Emak. Bisikan adzan Cungek di telinga almarhum. Jam besar yang menunjuk lewat tengah malam. Tirai-tirai. Neon. Tatapan tegar dan ikhlas Emak. Pelukan Abang sulung.
Layar berganti cepat ke adegan-adegan lain. Fase kuliah. Fase gagal sekolah. Tiba-tiba ke fase aku jatuhkan sepotong ayam goreng. Ganti lagi ke fase aku sembunyi di balik kelambu saat yang lain sholat magrib. Berputar. Doa bersama di sebuah rumah makan saat wisuda. Mengantar ayahnda ke asrama haji. Balik lagi ke fase Abang sulung dihukum gara-gara terlalu lama mandi di sungai. Berputar lagi. Saat pertama ke Pontianak, kejadian aku berdiri di jembatan Pasar Kapuas Indah. Seterusnya peristiwa nyaris ditipu turis Malaysia palsu. Pindah lagi ke bawah pohon durian. Menjala ikan...blesss! Blezeb! Flash! Berpindah. Blesss! Berputar! Blezeb! Bertukar. Flash! Berganti-ganti layar. Berebut tempat, minta paling dilihat.
Sejumlah anak-anak mengagetkanku. Mereka anak-anak TPA. Berlarian dan kemudian antrian wudhu. Aku mengamati sebentar dan beri mereka senyum. Tampak seorang anak, sambil antri, terpejam-pejam hafalkan sesuatu. Ia buka mata. Melihatku. Kuberi ia jempol kanan. Ia senyum. Pejam lagi dan lanjutkan hafalan. Emh. Generasi penerus.
Dari bagian samping kanan masjid, aku menuju halaman. Menoleh ke pintu masjid, tampak seorang pria dewasa. Itu Pak Yas. Kuucapkan salam. Ia menoleh dan menjawab salamku. Kami berbincang sebentar. Emh. Tak banyak orang yang peduli untuk urus regenerasi. Pak Yas salah satunya. Salut. Padahal ia bukan orang kampung ini. Istrinya, kalau tak salah bibi, ya, sepupuku. Sekali lagi salut.
Aku permisi. Sampai di gerbang pagar masjid, aku terdiam. Di depan, sungai Kapuas. Tampak muara sungai muntik dengan pasirnya yang khas. Di hulu, jalan semen memanjang. Sebuah jembatan, jalan semen lagi. Lalu ada aktivitas warga. Kemana aku?
Baik. Jika tadi dari jalan belakang, hitungannya aku mudik, sekarang dari jalan utama aku aku hanyut menghilir. Aku menatap ke arah hilir. Jalan semen terbentang lurus. Kiri kanan, pagar rapi. Membuncah bangga. Beberapa tahun lalu, kampung ini pernah raih semacam penghargaan.
Hanyut.
Hanyut.
Hanyut.
O5.09.13
Catatan Pulang (6)
Ket:
- Perahu Timau, perahu yang dibuat dari bilah-bilah papah. Beda dengan perahu klasik yang dibuat dari satu batang pohon utuh.
- Pelompai, jemuran. Varian lain adalah Kelompai, Perodai.
- Rambutan klotok adalah salah satu dari dua jenis rambutan utama. Jika rambutan blete' antara isi dan kulitnya susah dipisahkan, rambutan klotok sebaliknya. Gampang dipisahkan. Rambutan klotok ini pun masih memiliki banyak jenis lagi.
-Nyaruh, asing, tak dikenal, belum tahu.
04/01/15
PULANG #6
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar