04/01/15

PULANG #5

Tak ada takut. Tak ada horor. Hanya debar kesadaran. Hidup dan mati dibatasi tirai tipis. Untuk apa terlalu banyak "penganal" dan "te-rah-rah". Ada Yang Maha Kuasa. Rebutlah lahan-lahan itu. Perkayalah diri. Untuk apa? Nantipun akan berjatah satu kali dua meter.

Tak ada takut. Tak ada horor. Sebab di depan sana, tiang-tiang terpacak adalah penanda sanak keluarga "beristirahat". Lebaran belum lama lewat. Tradisi membersihkan kubur tiap tahun masih terawat. Ah, sudah berapa kali lebaran aku tak pulang kampung. Nuansa membersihkan kuburan, sejenak kembali pada muasal, tak kuikuti. Tak bisa tak. Aku merasa bersalah.

Kami makin dekat. Bagian barat areal pemakaman, menjulang kokok pohon tebodak (cempedak). Pada pohon itulah nama pemakaman ini dinisbatkan. Aku betulkan letak kacamata. Menyimak batang pohon cempedak. Ini bukan musimnya. Tak ada wanginya yang bisa dicium dari jarak jauh. Tak ada buah-buahnya yang ranum bergelantungan. Hanya lumut basah dan aneka jamur, serta retak rekah kulitnya, membentuk pola-pola abstrak, tekun mencatat peristiwa.

Sebuah makam, masih dengan tanah segar warna kuning, seakan menyambut kami. Letaknya paling dekat jalan masuk pemakaman. Nisannya kayu belian. Kulihat ada beberapa karung plastik, mungkin dipakai kaum kerabat ketika menggali kubur. Kuambil untuk alas duduk kami.

Kami bertiga bersila. Sesuai petunjuk Teh Yasan, kami bacakan Al-Fatihah dan Al-Ikhlas. Selesai. Tapi tak langsung beranjak.

"Dari lima, tinggal tiga 'tembawang' ". Lagi, kalimat itu berhembus dalam benak.

Sambil duduk, dengan arah tatapan, kuajak dua adik sepupu melihat makam-makam lain. Aku menyebut yang aku bisa. Itu makam nenek dan kakek. Berdampingan. Nenek yang suka mendongeng. Kakek yang pekerja keras. Setelah menyebut beberapa nama almarhum kerabat dekat kakek atau nenek, aku diam. Jauh lebih banyak makam yang aku tak tahu, baik nama maupun bagaimana "purih"-nya denganku.

Tak bisa tak. Perih menyayat. Aku yang banyak mengerkah meja bangku sekolah, tak tahu apa-apa soal garis keluarga. Percuma sekolah kau, Rin. Kau tahu Firaun-firaun di Mesir, kisah-kisah Babylonia, Persia, Cina, Maya, Inca dan lain-lain. Tapi, di pemakaman ini kau bungkam! Bagaimana kau akan tahu tentang sejarah yang lebih besar, sejarah Pulau Seribu Sungai ini? Seberguna apa kau jadi manusia?

Dalam benak angin menderu, mengantarkan lesatan-lesatan pertanyaan yang beranak-pinak dan tak terjawab. Mata terpejam. Nafas memberat.

Entah berapa jenak.

Kesiur angin sentuh dan jelajahi kulit. Sejuk segar. Aku membuka mata. Terang. Di depan, di sekeliling, dahan-dahan menari. Helai-helai tua meluruh. Beberapa lembar, mendarat mulus pada bidang tanah segar di depan kami. Seekor pipit, hinggap di cabang terendah cempedak. Celingukan. Riuh cicitnya. Mungkin mencari pasangan. Aku menoleh kiri-kanan. Ridho yang berkacamata, mengangguk-angguk. Yoga, dengan senyum khas, mendelik jenaka.

Belum. Aku belum beranjak. Yoga yang sudah terlanjur berdiri, jadi serba salah. Tapi cepat ia menyibukkan diri memegang beberapa pohon karet kecil. Ridho bersetia duduk di samping kiriku. Ia pun bermenung.

Aku memijat leher bagian belakang.

Iya. Kalau garis keturunan dari Arutn, Su Jong, seorang paman yang cerdas, telah membuat buku silsilah. Garis keluarga menyebar sampai ke Ketapang dan pulau Jawa. Masalahnya, kampung ini dulunya memiliki dua tokoh utama: Arutn dan Idris. Arutn sudah terpetakan. Idris belum. Nanti malam, harus bicara dengan para tetua. Satu nama, Yak Taher. Baiklah.

Aku menoleh pada Ridho. Mengajaknya beranjak. Sedangkan Yoga, sudah agak jauh, tersenyum di antara anak-anak pohon karet.

05.09.13
Catatan Pulang (5)


Ket:
-Penganal, asal kata "anal". Bisa diartikan sangat suka melakukan sesuatu. Penganal, secara bebas dapat ditafsirkan kemampuan seseorang berbuat lebih hebat dari rerata. Dalam konteks tertentu, term penganal bisa negatif. Misal suka merebut tanah waris orang lain. Sudah tahu salah, masih ngotot.

-Rah, bisa diartikan bebas sebagai terlalu lagak, tak mau kalah bicara, merasa paling benar. Te-rah-rah, intimidasi dengan suara atau fisik.

-Tembawang, penamaan untuk milik komunal. Lazimnya adalah areal pohon produktif, semisal tengkawang atau durian. Tembawang menjadi perlambang keberkaitan silsilah keturunan. Dalam konteks terbatas, tembawang bisa juga merujuk pada rumah besar milik leluhur.
Dalam serial tulisan pulang ini, tembawang juga mengacu pada lima bersaudara: Alm. Ayahnda (Panggilan Wa), Alm. Pamanda Dorsyah (Panggilan Ngah), Pamanda Yasan (panggilan Pak Teh), Pamanda Bangsawan (Panggilan Pak Cu/ Cungek) dan Bibi Rahmah (panggilan Mamak).

-Purih, silsilah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Support

Join My Community at MyBloglog!