Mula-mula, tentulah aku bersalaman dengan para sepuh. Di antaranya adalah Ake Kolok, adik bungsu almarhumah nenek dari garis keluarga Ayahnda.
"Minta' numur telepon ikau, cor..." ujar Ake Kolok menepuk pundak. (Minta nomor teleponmu, cucuku.) Aku mengangguk. Lumayan kaget. Aku menanti beliau meminta alamat FB, Twitter, Instagram, Path, Tumblr dll sosmed. Lalu, kulanjutkan bersalaman dengan sekalian "merina" (paman/bibi). Seterusnya dengan para sepupu dan ponakan. Barulah kemudian kupenuhi permintaan Ake Kolok.
Untunglah, ketika kuamati layar ponsel, ada sinyal. Jadi langsung ku-miscall. Sayangnya, tiang listrik yang belum ada. Padahal, berapa jauh sih dari "kangkangan" gawang tiang-tiang listrik di jalur desa Sungai Batu? Padahal sudah berapa tahun sih wilayah Borneo Barat ini menyerahkan surat kekuasaan Swapraja pada republik? Padahal...
Aku mendengus. Coba merontokkan gerundelan. Pasang senyum untuk keluarga yang bertanya kabar. Pembicaraan mengalir seputar masa kecil, sesekali berkenaan dengan almarhum ayahnda dan pamanda.
"Apak ikau nyak mari', kalak nutok padi," seorang sepuh buka cerita, "waktu nyak, enya gik nguan gela merina ikau". (Ayahmu dulu, pernah menumbuk padi. Saat itu, ia sambil mengasuh paman dan bibimu yang masih kecil). Lanjut si Sepuh, ayahnda sambil menggendong adik perempuan satu-satunya menumbuk padi di bawah pohon mangga. Sedemikian serius bekerja, ia tak menyadari seekor ular pohon, mengintai dan bergerak turun dari dahan. Ada orang dari kejauhan yang melihat adegan itu. Begitu alu di angkat, kepala ular naik. Begitu alu hujam lesung, kepala ular ikut turun. Berulang-ulang. Bagi yang melihat, itu pemandangan ganjil. Campuran sempurna antara keuletan, kekonyolan dan marabahaya.
Merasa cukup dengan pembicaraan di depan, aku bawa tas ke dalam. Rencanaku, malam nanti akan menginap di rumah Cungek, adik ketiga alamrhum ayahnda. Sebab, kupikir, rumah utama ini pasti akan banyak yang menginap. Aku mencari Mak Ngah Seni. Istri almarhum Pamanda Dorsyah. Tapi begitu melewati sebuah pintu, kulihat Mak Ngah sedang termenung. Matanya kosong. Aku senyum dan lambaikan tangan. Tapi, aku seperti ruang hampa di depannya. Dari pembicaraan di luar tadi, kutahu Mak Ngah sangat berduka. Jadi? Baiklah. Nanti saja.
Aku lanjutkan langkah menuju dapur. Lagi-lagi bertemu kaum kerabat yang sibuk membuat penganan untuk acara nanti malam. Bersalaman lagi. Beres meladenai candaan mereka, aku menuju rumah Cungek melewati pintu dapur. Menuruni anak tangga dapur, sejumlah ibu di dapur umum, menyorakiku. Hehe. Sebab, di antara mereka, ada perempuan, yang dalam usia sepantaranku, namun terhitung bibi dalam silsilah keluarga. Jaman abege dulu...hehe...pernah kupacari...teringat lagu Lyla... Mantan kekasihku...rupanya engkau bibiku...
Pertama kusalami tentulah Mamak Rahmah. Mamak adalah penyebutan untuk bibi. Mamak Rahmah adik bungsu almarhum Ayahnda. Jauh-jauh datang dari Sumedang, Jawa Barat. Seperti yang sudah kutulis sebelumnya, Mamak Rahmah tak berkesempatan bertemu terakhir kali dengan kedua abang kandungnya.
"Koti Mamak ikau tau nak copat ke Sangau," seorang bibi lain coba jelaskan, "jalatn dari simpang Tayan sampai ke Sangau saja upa celaka jahanam." (Bagaimana bibimu bisa cepat ke Sanggau, jalan dari simpang Tayan sampai Sanggau rusak berat).
Kalau tak gunakan alasan lelah dan ingin istirahat, sulit bagiku "melarikan diri" dari keroyokan candaan mereka. Itu pun keadaanku lumayan "babak-belur". Sebentar-sebentar senyum saat membaringkan diri di ruang tengah rumah Cungek. Ah, masa lalu. Hik-hik. Kalau dulu aku pacaran dan kemudian menikah dengan perempuan yang terhitung bibi itu, sudah sebesar apa anak kami? Hik-hik. Akan berapa orang anak kami? Hik-hik. Kira-kira, siapa-siapa nama mereka? Hik-hik. Seperti apa wajah mereka? Hik-hik. Kalau...hik-hik...
Setelah puas dengan imaji tak jelas, aku bangkit. Minum "aik mati" (air putih). Kemudian ke teras depan rumah Cungek. Ada pamanda Teh Yasan. Aku duduk di depan beliau. Aku tak faham banyak segala doa, kataku. Kalau pergi ke kuburan, cukupkah dengan Al-fatihah dan Al-Ikhlas saja? Beliau mengangguk.
Lalu, aku minta antar Yoga, anak Cungek, ke lokasi kuburan Tebodak (Cempedak). Di situ lokasi pemakaman keluarga besar. Ridho, anak Teh Yasan, juga ikut.
Rumah besar, yang ditinggali keluarga almarhum pamanda Dorsyah, menghadap sungai Kapuas. Sedangkan rumah Cungek, berhadapan dapur dengan rumah besar itu. Di depan rumah Cungek, sekarang ada jalan semen. Asing bagiku. Ke arah hilir sungai, ke kiri, ke barat maksudku, bertemu dengan sekolah dasar. Sedangkan arah kanan, menuju ke timur, entah kemana. Nantilah kucari tahu.
Bertiga Yoga dan Ridho, kami menuju pemakaman.
"Ga, bayah madah Abang doluk. Abang nerai ngingat-ah. Entik Abang salah jalan, baru' Oga madah reti." (Yoga, jangan kasi tahu Abang dulu. Abang coba mengingat. Jika nanti salah jalan, barulah ingatkan.)
Yoga nampak antusias. Senyumnya sepenuh bulatan dulang. Tampak harapannya agar Abang sepupunya ini salah. Baik. Kami melangkah ke timur. Kira-kira sepuluh meteran, kulihat ada jalan tanah ke kiri. Tak salah lagi. Inilah jalan ke pemakaman. Aku berhenti di muara jalan itu.
"Tuk-am Ga, no'?" (Ini kan, Yoga?)
Jalan di depan kami lebarnya sekitar empat meter. Dominan rumput. Sebuah jalur jalan tikus tepat di tengah. Mungkin dipakai warga ke kebun karet. Sisa tebasan kemarin, rapi membentuk jalur lurus ke depan. Di depan sana, berbaris pohon-pohon karet produktif. Seperti berjaga di kiri kanan jalan. Seperti pilar-pilar agung imperium Romawi. Pilar-pilar dengan puncak rimbun hijau. Tajuk-tajuk yang berpagut, membentuk lorong. Lorong hijau dengan pilar-pilar putih. Jalan menuju pemakaman keluarga. Emhhh.
Di sanakah jugakah nanti, lahan satu kali dua meter untukku? Di sana terbaring damai beberapa generasi di atasku.
Leluhur. Ini aku dan dua sepupu, tiga orang dari sejumlah keturunanmu, datang berkunjung.
Debar dada berubah. Ucap Bismillah. Kami bertiga melangkah.
"Assalammualaikum, wahai ahli kubur..."
05.09.13
Catatan Pulang (4)
04/01/15
PULANG #4
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar