Sambil menggendong ransel dan memikul satu kardus minuman mineral, aku menapaki titian lanting jamban. Bilah papan melengkung. Beberapa bibi berseru. Untung ada semacam pagar di kanan titian untuk bertopang. Bobotku memang sedang tren naik. Terakhir, di ruang praktik Dokter Heru, angka digital timbangan berkisar di angka enam puluh sembilan. Prestasi.
Sampai di tepian sungai, aku menarik nafas lega. Lanjutkan langkah. Jalan menuju tangga tebing sungai di tata sedemikian rupa. Berundak-undak. Kiri-kanan jalan, padi Pak Alui merimbun. Satu-dua ranting, mencuat dari empuk lumpur. Sampai di anak tangga tebing, aku berhenti. Ada dua tangga. Tangga kiri dari kayu dan tampak sudah lama tak dipakai. Sedangkan tangga kanan dari semen. Emhhh. Almarhum pamanda jelas tak mengabaikan masa lalu.
Ada yang mengganjal hati, tapi apa? Seorang paman di atas berseru agar aku tak berlama-lama bikin "upacara" di dasar tangga. Sebentar. Apa, ya? Kuedarkan mata. Oh. Iya, iya. Tak salah lagi. Perwajahan tepi sungai cenderung melandai. Dulu, tebing sungai cukup tinggi. Puluhan tahun lalu, aku pernah tersungkur dan menyundul sebuah batu. Emh. Tanda di keningku masih ada. Ingatan tentang hebohnya keluarga, terutama Abang Sulung yang mengira aku ditembak Jepang, terasa terjadi kemarin. Namun, batu itu, entah sejak kapan sudah lelap di bawah lumpur. Demikianlah sejarah, barangkali. Betapa banyak khasanah sejarah Pulau Hujung Tanah ini yang masih tersimpan di balik muka tanah. Menunggu generasi-generasi berikutnya, yang merasa punya panggilan batin, menemukan mereka.
Aku lanjutkan langkah. Memilih kebaruan, meniti anak tangga semen. Di tengah tangga, mataku sudah menangkap nuansa percakapan keluarga di teras rumah, serta riuh rendah para bibi di dapur berterpal biru dekat kebun rembutan klotok.
"Annn... ada upa urakng jauh nyak?" seru seorang paman. (Aih, ada rupanya orang jauh itu).
Meninggalkan kepala tangga tebing sungai, aku bersua jalan "lobuh" yang bersemen. Aku diam lagi. Berikan senyum untuk para paman. Pikiranku melacak sebuah file gambar bergerak. Rumah besar dengan atap model khas, cenderung limas. Dinding papan. Teras berukuran sedang. Teras itu, berlantai, berpagar dan beranaktangga kayu belian. Beberapa bangku. Percakapan-percakapan. Betapa bersahajanya. Dari dasar anak tangga rumah, ada bidang tanah yang ditinggikan hingga ke muara gerbang pagar. Di sebelah kanan, pohon cengkeh menjulang. Di sebelah kiri, kebun sayur yang diolah neneknda tercinta. Aihhh...
Namun bangunan di depanku sudah banyak berubah. Berkesan modern. Pamanda memang berpikiran maju. Keramik dengan warna teduh mendominasi. Pagar teras dari stainless. Teras depan penuh, bersambung dengan selasar di kanan rumah menuju dapur.
Aku menoleh ke kanan-kiri. Sama. Bentangan jalan semen menghujung dan ditutup rimbun di kejauhan sana.
Aku melangkah memasuki gerbang. Nanti malam aku harus bercakap-cakap dengan sesiapapun yang memahami sejarah desa dan garis keluarga. Pikiranku menuju Yak Taher. Namun, aku masih punya beberapa jam sebelum malam menjelang. Kemana sebaiknya aku?
04.09.13
Catatan Pulang (3)
04/01/15
PULANG #3
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar