04/01/15

PULANG #2

Begitu selesai isi minyak di kios terapung, speed boat menderu lagi. Capang saksama menatap ke depan. Sampah, kapar serta pelampung penanda rawai dan pukat harus dihindari. Sigap Capang kendalikan haluan speed boat.

Aku terus memotret kemana pun menghadap. Panorama sungai, kawasan kota Sanggau, dari desa Liku sampai desa Sungai Bungkuk. Muka sungai, dari ulak, ranting hanyut, botol minuman mineral, sampai ke akar angguk dahan kayu Oba' di tepi sungai. Pucuk-pucuk pohon hingga gerombolan awan. Tentu tak lupa, beberapa jepretan edisi narsis. Matahari benderang. Kuusulkan kap speed boat di tutup. Kasihan si Fadil yang terkantuk-kantuk oleh tiupan angin. Tapi Capang dan Yayan bilang tak perlu. Istri Yayan dan Fadil, abstain. Aku kalah suara.

Speed boat terus melaju. Ini pulang, bukan sembarang pulang. Dari lima, tinggal tiga "tembawang". Dari  abang kandung di Pontianak, kemarin, aku sudah dapat kabar. Mamak Rahmah sudah naik taksi menuju Sanggau. Yayan tadi pun cerita, Mamak sampai ke Sungai Muntik sudah sore hari. Sedangkan pemakaman Pamanda Ngah Dorsyah berlangsung jelang siang sabtu kemarin.

Dua kali bibi kami tercinta, satu-satunya anak perempuan dari pasangan Rasib dan Jaemah tak dapat bertemu terakhir kali dengan dua abangnya. Pertama, ayahnda Rawan, berpulang pada Ilahi sebelun puasa tahun lalu. Sekarang, pamanda Dorsyah, wafat beberapa pekan setelah lebaran.

Hembusan angin kembalikan aku ke bangku di samping Capang. Aku menatap ulak di areal Teluk Pancur Aji. Banyak cerita di sini. Tahun lalu, sebelum ayahnda wafat, kami berdua jadi nelayan. Dari hulu sungai Engkayas kami hanyutkan "untang-untang". Ada sebuah batu dengan bentuk khas, seperti penjaga teluk. Kami pernah duduk istirahat di situ.

Demikian pula dengan kenangan masa kecil. Kadang bersama Ayahnda atau Kakek, dengan speed 8 PK mudik ke kota Sanggau. Kesempatan lain, kadang pakai kapal klotok Pak Men, kapal klotok Harimau, speed-speed boat komersil jurusan Sanggau-PT. Erna. Tiap melintas di sini, kerap aku bergidik.

Cerita lain, ayahnda seorang rekan di Gensukers Jatong yang jadi nelayan, pernah tenggelam di sini.

Belum lagi cerita-cerita rakyat soal keangkeran Teluk ini. Cerita-cerita luar biasa.  Mistis hingga fakta sejarah. Tentang nelayan yang mendapatkan rantai emas tapi tenggelam lagi karena belum jodoh. Teringat aku pada lagu yang cerita tentang Sultan Abdurhaman yang kembali ke Pontianak karena gagal menaklukan Sanggau.

Sungai Kapuas, dari sungai, punya beberapa perintang. Pertama Batu Setawar, kedua Teluk Pancur Aji. Di tebing Pancur Aji, terdapat benteng pertahanan. Ada pula dua meriam gaib. Kalau tak salah namanya Meriam Lela dan Meriam Bujang Malaka (mohon konfirmasi dari yang lebih mengetahui jika saya salah).

Itu baru dari arah hilir. Di sungai bagian kota, terdapat Gulokng Uwi. Hewan mistik jenis puaka yang akan bangun jika Kota Sanggau dalam keadaan terancam atau jelang peristiwa-peristiwa luar biasa. Sedangkan di bagian hulu sana, ada Batu Lamai Dara yang melegenda. Dara cantaik lambaikan tangan, mengganggu konsentrasi pasukan penyerang.

Lagi, hembusan angin awal bulan kelahiran, sadarkanku. Kami baru saja lewati Desa Pudu. Tak banyak berubah. Peta dalam benakku, tak perlu banyak di-update. Setelah Pudu, tampak desa Jeranai di kanan dan desa Jawai di kiri. Berikutnya desa Sengkuang di kanan dan desa Lintang Kapuas di kiri. Bersahaja.

Lanting-lanting jamban bergoyang oleh gelombang. Titian jamban, tepi pantai, tebing sungai, pohon-pohon mangga hingga kelapa. Rumah-rumah penduduk. Tak tampak gesa globalisasi yang mencekik kemanusiaan.

Sebuah speed baot komersil tampak di depan. Capang arahkan speed boat kami ke kanan. Hindari liuk gelombang. Sesekali lantai terasa terantuk air ketika Capang bawa speed boad menepi. Sama seperti lalu lintas jalan raya, ada aturan. Sebagai petugas abdi negara, Capang paham itu.

Di hilir desa Sengkuang, tampak tanjung yang lumayan menjorok ke tengah. Melewati speed boad komersil dan tanjung itu, tiba-tiba saja tersaji pemandangan. Desa kelahiran. Dadaku bergemuruh. Tak. Tak semata soal anak kampung yang pulang saat duka keluarga. Ini soal luka belasan tahun lalu. Pada Joker and The Gang.

Aku menggumam. Mengumpat panjang pendek. Tetap tak bisa kuberi maaf pada sejumlah orang celaka jahanam itu. Upsss... Sudahlah. Abaikan bahwa baru saja kutulis kalimat serapah sederhana itu.

Kupejamkan mata. Tenangkan diri. Buka mata, melihat sungai ringin di hulu kampung. Sungai Muntik tepat di tengah kampung. Muara sungai Muntik muntahkan pasir yang jika kemarau sanggup mencapai tengah sungai. Sungai Torus di hilir. Lagi. Tak banyak yang berubah. Kecuali satu dua rumah yang tampak megah. Aku tak bisa mengamati lebih jauh. Aku banyak pejamkan mata. Bedamai dengan kesumat pada Joker dkk.

Aku iya-iyakan saja omongan Capang maupun Yayan. Speed boat menepi pada lanting jamban yang sangat kukenal. Lebih dari belasan tahun lalu, aku juga ikut meramaikan Kakek dan orang-orang membuatnya. Sedikit perubahan. Dua kayu besar sebagai pelampung yang dulu gagah meraksasa, kini merenta. Daya apungnya cuma tinggalkan seperempat bagian batang timbul. Kemudian, ada sebuah lanting jamban besar lagi di sampingnya. Lanting dengan atap dan dinding seng.

Kuperbaiki letak kacamata. Beberapa bibi kukenali. Kulemparkan senyum terbaik. Speed boat merapat. Capang sigap melompat ke depan dan lemparkan tali pada seseroang di lanting jamban.

Untuk sekian menit, terjadi kesibukan bongkar muat. Aku bantu sebisanya. Kulayani candaan beberapa bibi soal posturku yang kata mereka "memang keturunan Ake Ocel". Beberapa bibi juga tanya apa aku kenal mereka. Tentu aku masih kenal. Kusebut nama dan orang tua mereka. Tampak senyum bahagia mereka. Tapi, kulihat dua dara cantik yang sibuk dengan perabotan dapur.

"Sopai sidak duak nyak ah?" (Siapa mereka berdua itu?)

"Annn... mada ikau entawu ah piya'?" (Nah, kau tak tahu?)

Aku menggeleng. Para bibi ketawa. Dua gadis remaja itu tersipu. Seorang bibi jelaskan. Satu orang anak Lena, satunya lagi anak Diding. Hah???! Nama-nama itu terhitung sepupu dekat. Lalu, mereka berdua pun sepantaran aku. Anak-anak mereka sudah remaja, sedangkan anak-anakku masih batita. Habis-habisan aku dicandai soal anak. Ya. Mau dibagaimanakan lagi. Aku kan anggota IPTN. Ikatan Pria Telat Nikah.

Seorang paman berseru dari tebing sungai. Iya, aku harus cepat naik sekalian bantu bawa barang. Meladeni para bibi yang suka bekuti' alias bercanda takkan ada habisnya. Aku menoleh pada arah si paman.

Tebing itu. Anak tangga. Keningku masih ada tanda luka. Pernah aku jatuh dengan kening membentur batu. Pohon kelapa itu, tak ada lagi. Tinggal tunggulnya. Rumah itu. Rumah besar dalam trah keluarga Rasib. Pohon-pohon rambutan klotok itu.

Sambil memikul sekardus air mineral, aku melewati titian kayu belian yang masih sama dengan puluhan tahun lalu. Hati-hati.

03.09.13
Catatan Pulang (2)


Ket:
Untang-untang: jenis alat tangkap ikan. Sepotong kayu atau botol air mineral ukuran besar menjadi pelampung. Pada pelampung itu diikat sebuah mata pancing. Jarak dari ikatan botol pada mata pancing, relatif. Antara satu sampai dua jengkal orang dewasa. Satu pelampung satu mata pancing. Untang-untang lazimnya mengincar ikan-ikan seperti Ikan juara. Satu kali edarkan untang-untang, biasanya belasan sampai puluhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Support

Join My Community at MyBloglog!