04/01/15

UANG

Begitu Jupiter Iju diparkir di depan toko, segera kuhampiri. Anak muda, yang menjadi ABK klotok penambang Tayan-Piasak, senyum dengan wajah berkilat. Di langit, matahari sedang naik.

"Berape?" tanyaku, usaha ucapkan dialek khas Melayu Tayan. Ia sebutkan nilai rupiah. Naik lima ribu ternyata. Setelah transaksi, kudorong sepeda motor ke ruko seberang jalan. Rafa patuh menunggu. Soalnya tadi kubilang: "Osah kemane-mane, ye. Nantik Bapak telepon Om Kikin."

Ah, sejujurnya aku merasa bersalah. Pola Peri-Gergasi yang kuterapkan, memposisikan adik semata wayang kami itu, yang putih "mampih" sebagai instrumen gertakan. Heran juga aku. Kenapa Rafa takut pada si bungsu? Kuat dugaanku karena Q2n (dibaca: Kikin) banyak "padu' ".

Sebagai hadiah kepatuhan Rafa, kuberi ia permen lolipop. Persediaan terakhir. Pink. Bentuknya telapak kaki kanan. Entah apa konsep desainernya. Mungkin bentuk itu mudah dikenali kanak-kanak. Tapi, bukankah itu memaksa orang tua mengajari anak memakan kaki? Sudah, ah. Kalau dilanjutkan, panjang. Misal. Sudah tahu itu bentuk kaki, kenapa orang tua beli? Baik. Bisa kita jawab. Karena ada yang jual. Itu pun bisa dielak. Tokh pilihan permen dari pabrik lain masih ada, kan? He. Kita balas. Cuma lolipop bentuk kaki itu yang ada. Masih bisa dibalas. Kenapa tak cari ke toko lain? Ke kota lain? Ke pabriknya langsung? Hadeeewww... Kita balas lagi?

Aku geleng-geleng kepala lihat Rafa nikmati kaki itu penuh suka cita. Tak apa-apalah. Mumpung ia masih kecil. Kalau nanti sudah abege, lain lagi mintanya. Diam-diam aku kepengen juga dengan permennya. Tapi apa daya? Bukan karena puasa. Aku sedang dalam perjalanan jauh, Bos, jadi sengaja tak puasa. Masalahnya, kalau kuambil paksa dan makan permennya, bisa berubah lirik lagu: "abege tua" menjadi "balita tua..."

Aku jadi ingat permen yang lazim semasa kecilku. Bentuknya sederhana. Seukuran ruas ujung kelingking. Bungkus plastiknya kuning cenderung coklat. Diputar berlawanan pada kedua ujungnya. Kalau mau buka, tinggal tarik kedua ujungnya dan tralala...permen warna gelap tersedia. Rasanya pedas.

Nah, bungkus permen itu yang menarik. Setiap makan permen, bungkusnya di simpan baik-baik. Kami dulu suka bermain dagang. Mata uangnya, ya, bungkus-bungkus permen itu. Kalau "PAD" yang berasal dari pembelian permen pribadi kurang, kami sama-sama blusukan ke pasar-pasar. Sendiri tak seru. Ramai-ramai jadi kayak berburu. Mata harus awas. Suara mesti keras. Kaki wajib tangkas. Tiap melihat target, teriak sambil mengejar dan ambil secepatnya.

Sedari kecil, mataku sudah payah. Suaraku melankolis. Tungkai kakiku bukan tipe sprinter. Alhasil, dalam tiap permainan, lebih sering posisiku sebagai "negara dunia ketiga". Ya. Aku benar-benar Indonesia.

Karena bungkus permen pedas itu mudah ditemukan, nilainya di tangga dasar. Seratus perak. Untuk bungkus permen yang agak sulit, naik nilainya. Maklum, harga permen dan desainnya, bukan lagi konsumsi menengah ke bawah. Tergantung kesepakatan. Bisa lima ratus perak, seribu perak, lima ribu perak atau sepuluh ribu perak. Untuk yang paling sulit, bisa bernilai dua puluh ribu perak atau lima puluh ribu perak. Seratus ribu? Belum ada, Boss.

Nah, permen lolipop seperti yang sedang "dikuyum" Rafa, nilainya menengah. Nilai persisnya aku lupa. Nantilah kutanya kawan-kawan.

"Uteh! Uteh! Uteh!" seruan Rafa buyarkan layar masa kecilku.

Tampak Iju berjalan gagah dari arah hulu. Oh. Selain beda kapal klotok, ternyata dermaganya pun beda. Tadi aku dan Rafa duluan melompat ke klotok yang ada sepeda motor Iju. Sedangkan sepeda motor Dian, ada di klotok berikutnya. Maklum, jelang lebaran. Arus penyebarangan meningkat. Jadilah aku dan Rafa bersama motor Iju duluan menyeberang. Sedangkan Iju, Dian, Nyonya dan Aira belakangan.

Di ujung sana, di tikungan dekat gerbang fery Piasak, tampak Dian, Nyonya dan Aira sudah stand by di atas sepeda motor. Rafa antusias: "Bubum! Bubum! Bubum!"

Iju segera pegang setang. Rafa di tengah. Aku di belakang. Tak lama kemudian, kami sudah mendekati Dian. Kutanya soal bensin. Mesin dahaga berat. Kami sepakati untuk cari tempat isi bensin. Dua sepeda motor kami pun melaju.

Di halaman sebuah warung, kami singgah. Sementara karyawan warung isi bensin, kami rehat sejenak. Beres rehat, siap beranjak. Bayar.

"Hah? Ape nie, Pak?" tanya karyawan warung menyodorkan lagi uang seratus ribuan yang tadi kusodorkan. Aku terhenyak. Tak salah yang kulihat?
Kukerjapkan mata beberapa kali.
Tak berubah.
Itu bungkus permen lolipop!

05.08.13
Catatan Perjalanan: Uang

Ket:
- Padu'= Tahi lalat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Support

Join My Community at MyBloglog!