Mendengar pertanyaan Nyonya, aku cuma bisa "ngerenyeng". Pintu ditutup. Gleghhh. Telan ludah.
"Ayah pegi gik, ye, Nonge..."
Kupacu lagi si Biroe keluar dari gang Anggur. Belok kanan. Susuri Agus Salim. Belok kanan lagi. Susuri Juanda. Belok kanan lagi, susuri Sudirman. Tak langsung menyeberang ke arah RS Sanggau. (Maaf kutulis "RS" saja . Sebab semua RS di Kalbar di tiap kota Kabupaten rerata punya nama. Misal, Pontianak RS Soedarso. Cuma di Sanggau RS-nya berujung "UD" doang). Susuri tepi kanan Sudirman. Sedikit langgar UU sih. Tapi tujuanku memang cuma ke konter MAESTRO. Sekitaran 15 meter-lah dari simpang Juanda-Sudirman.
Beres isi pulsa untuk 3 nomor, niatku langsung pulang. Harusnya aku balik lagi ke simpang Juanda-Sudirman, tapi kupikir tak ada salahnya berputar lewat Pasar Sentral. Lantas, berangkat lagi aku. Melihat sebelah kanan, toko percetakan SAHABAT WARNA milik seorang kawan, maju pesat. Melihat lagi hotel. Ah, dulu bagian belakang itu kebun karet dan areal kebun kangkung. Tempat kami main "tapok blek", perang-perangan dan lain-lain permainan. Sekarang sudah padat.
Aih. Konsen. Mulai lagi "ngander". Fokus. Lurus. Jangan mikir yang aneh-aneh. Nanti, sampai simpang BRI, belok kanan. Ada lampu merah yang canggung dan nanggung. Sudah saatnya kota kabupaten ini punya lampu merah? Ups. Fokus. Jangan ngander. Nanti, setelah belok kanan, susuri Pasar Sentral, lewati bekas bioskop, terminal, kemudian belok kanan di Simpang Adi. Lurus. Sampai depan gang Anggur, belok kanan. Beres.
Demikian. Kuprogram baik-baik perjalananku. Oke. Ku-save. Aku dan Si Biroe pun sampailah di lampu merah Simpang BRI. Belok kanan. Susuri Pasar Sentral. Toleh kiri, toleh kanan. Senyum-senyum. Beberapa orang yang tak terlalu kukenali, menyapa. Kukasi hormat dengan tangan kiri.
Sebentar. Jangan bilang aku sombong. Bukan. Mataku minus dua ratus. Kecepatan si Biroe sekitar 10 km/jam. Kondisi malam. Jadi sosok orang-orang yang kulihat cuma sekilas. Itu orang. Aku tahu. Tapi siapa orang itu, tak terlalu jelas. Begitulah, Kawan. Tolong jangan bilang aku sombong dengan kalimat "...orang yang tak terlalu kukenali" tadi.
Toleh kiri, ada ruko yang buka tempat minuman dan gorengan pasar. Letaknya persis di samping kanan Warkop ABADI. Baiknya kubeli gorengan favorit Nyonya. Hitung-hitung, upaya damai atas kegagalan beli pulsa sesi pertama tadi.
Kuajak si Biroe merapat. Beres lepaskan kunci kontak, aku menuju tempat gorengan. Seseorang di dalam ruko melambai. Tak jelas. Kupejamkan mata, kemudian kusipitkan. Oh. Kawanku. Salah seorang warga Jatonk. Namanya Pences. Niatku yang semula hendak menjangkau Sukun goreng, urung. Aku ke dalam menyalami Pences.
Setelah bertukar kabar, Amoi datang tanya mau pesan apa. Kujawab pesan teh hangat gelas besar.
"Aih? Dah dara upa amoi... Doluk bah kocik-am" (Aih, sudah gadis Amoi nie. Dulu kecil)
"Aoklah," jawab si Amoi dengan bahasa Melayu Senganan fasih (Aok= Iya). "Taulah aku bosar. Aku kan ajom tempayan" (Bisalah aku besar. Aku kan bukan tempayan)
Hehe... Busyet juga jawabannya. Kena aku.
Asyik berbincang dengan Pences, seseorang datang. Menyapa Pences. Kemudian senyum padaku.
"Apai bereta, Ke? Ada aku ninga, dirik dah nyaman. Dah idup di aik". (Apa kabar, Tauke? Aku dengar, anda sudah hidup nyaman. Sudah hidup di air (cari penghidupan di air)).
Si Tauke pun duduk. Pences menawarinya minum kopi dan langsung diiyakan. Kopi Pancung. Sebab ia cuma sebentar.
Lantas aku cuma jadi pendengar. Si Tauke cerita ringkas soal pilihannya mencari penghidupan di air. Tentang perkataan Pences bahwa hidupnya nyaman, ia bilang itu relatif. Cuma yang jelas, hidupnya sekarang lebih ringan dan berisi. Ringan karena benar-benar menjadi bos bagi diri sendiri. Emhhh. Seperti rumusan kuadran ke-empat Robert. T. Kiyosaki. Lebih berisi, sebab ia bisa beramal pada orang lain. Emhhh. Lebih tulus daripada agamawan entertainer .
"Tadi malam, aku marah besar dengan anak buah si (menyebut nama boss penambangan pasir di hulu kota Sanggau)," ujarnya dengan mimik geram.
"Kenapa, Ke?"
Lantas ia bercerita. Mulai dari suasana kemarin malam yang hujan lebat. Disusul ia yang tidur lelap dan mimpi soal naga. Kemudian bangun sekitar pukul tiga pagi. Kutanya, apa ia hendak sahur. Ia senyum saja. Lanjut ceritanya soal aktivitas ke sungai. Bawa pukat. Timba air di perahu. Pasang dan hidupkan mesin. Meluncur ke arah hulu.
"Belum lama meninggalkan muara Engkayas, kulihat sesuatu di depan. Besar. Sebesar rumah. Hitam. Legam."
Ia berhenti. Memastikan efeknya sampai ke kami. Kuakui. Lumayan horor. Bayangkan. Sendirian di sungai. Pagi buta. Tiba-tiba melihat benda hitam. Apalagi kalau bukan "Puaka"?
"Kuambil senter. Senterku tiga sambung, kalau kalian mau tahu. Ku sorot. Seperti dugaanku. Itu ponton. Ponton! Hanyut. Kita kan tahu. Di Sanggau ini, ponton, kalau bukan milik bos pasir Si A, ya, bos pasir si B."
Meleset. Sayang bukan puaka. Kalau puaka, bisa kujadikan cerpen ceritanya. Kami bertiga, serempak mengirup minum masing-masing.
"Kulewati ponton itu. Kusorot, tak ada merek apa-apa. Nah, aku tadi kan cuma mau hanyutkan pukat. Ya, sudah. Kupikir tak ada salahnya kasi tahu pemiliknya. Cepat aku ke tempat bos pasir si B. Kuketuk perahu motor anak buahnya. Anak buahnya bangun. Setelah kuceritakan, anak buahnya langsung periksa ponton-ponton mereka. Lengkap. Aku tak enak hati ganggu tidur mereka. Tapi, mereka baik. Baik sekali. Mereka malah terima kasih sama aku."
Pause lagi. Kami minum lagi.
"Aku ke tempat bos pasir si B. Kulihat lampu perahu motornya terang. Kuketuk ketika perahu merapat. Tahu apa jawaban anak buahnya? Aku malah kena marah. Ganggu mereka. Aku kasi tahu baik-baik. Masih marah. Aku marahkan mereka: 'Tak perlu aku bangunkan kalian kalau bukan niat nolong'. Nah, mungkin karena dengar aku punya kata-kata emosi, mereka buka jendela. Kukasi tahu. Mereka sorot-sorot ponton. Hilang satu! Baru teriak-teriak mereka. Kubilang: 'Kukasi tahu kalian karena bos kalian baik. Kalian jangan sok sombong gitu. Kalau kukasi tahu bos, habis kalian'. Aku pun pergi. Malas aku dengan mereka."
Pause. Minum. Tapi cuma ia dan aku. Pences ubah posisi duduk. Bersandar.
"Tahu kalian? Aku sudah angkat aku punya pukat, barulah kulihat mereka mudik seret itu ponton dari arah Teluk Pancur Aji."
Sesaat masih terjadi perbincangan soal ponton hanyut itu. Kubayangkan ponton itu henyut dengan sedih, menyenggol lanting-lanting jamban milik warga. Bisa masalah bagi si Boss.
Kualihkan pembicaraan. Kutanya soal hanyutkan pukat. Ia cerita semangat. Ikan Juara, Lais, Kelabau, dan lain-lain.
"Kelabau? Bagaimana rupa ikan kelabau itu, Ke?"
Sontak ia dan Pences tergelak.
Ah. Terserahlah. Mau bilang aku sepok, katrok dlsb. "Seterah". Kukatakan pada mereka. Aku orang Borneo Barat. Tapi soal ikan dan tumbuhan, aku nol besar. Mungkin karena kebanyakan mengerkah meja bangku sekolah. Syukur mereka mengerti. Mereka silih ganti cerita soal penampakan fisik ikan dan nama-namanya.
Aku suka. Aku pesan teh hangat lagi. Tenggelam menyimak soal beda empat jenis ikan Lais. Larut dengan perilaku ikan dan cara menangkapnya. Hanyut dengan penjelasan soal selera makan ikan warga. Ikan, ikan, ikan dan ikan. Otakku berubah jadi akuarium.
Jujur, Kawan. Seperti kukatakan tadi. Aku orang Borneo Barat. Tapi soal ikan dan tumbuhan, aku payah. Kusesali. Harusnya dulu kuambil fak yang berkenaan dengan hal-hal tersebut. Prihatin. Betapa kaya potensi bumi Borneo. Betapa begonya aku, minimal untuk nama ilmiah ikan dan tetumbuhan. Malah, para bule lebih faham. Malu, kan?
Si tauke yang baik hati undur diri. Ia mau bayar minuman. Tapi dicegah Pences. Aku dan Pences masih lanjutkan pembicaraan. Beres gelas kedua, aku pamit.
Sampai di rumah, pintu tutup. Kuketuk dan ucapkan salam. Beberapa kali. Terdengar langkah-langkah. Pintu terbuka. Nongol sosok yang kucinta.
"Beli pulsa di mana? Jam berapa sekarang?"
Beuhhh...
04.08.13
Ket:
- Ngerenyeng: Senyum lebar;
- Ngander: Bhs. Melayu Pontianak, dapat diartikan secara bebas sebagai rumpi;
- Jatonk: Hehe... Ini akronim Jatong, Jalan Tongah, Jalan Tengah. Mengacu pada jalan H. Agus Salim di kota Sanggau.
- Kopi Pancung: Kopi Setengah Gelas;
- Puaka: Sejenis makhluk halus yang tinggal di sungai. (Menurutku pribadi, dapat diterjemahkan sebagai monster);
04/01/15
MUKA KABUPATEN #2
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar