04/11/13

MANEKIN

"Apa yang kita ingin, dari sebaris manekin yang menatap dingin?"

Putriku, Aira, keluarkan jejerit aneh. Aku berputar, tak ada yang ganjil. Para pengunjung toko pakaian, tetap sibuk memilih. Bundanya Aira, tampak sumringah memilih dan memilah baju-baju bergelantungan di toko sebelah. Aku mengamati.

Lagi, Aira keluarkan jeritan aneh. Oh! Ternyata... Cepat kugendong Aira menjauh dari sebaris manekin di depan etalase. Ingin kuambil sepotong kayu dan hantam barisan itu. Tapi sebentar. Kuamati satu-satu manekin. Duapuluh tujuh. Sama dengan jumlah propinsi semasa orde baru. Lengkap, dari manekin dewasa hingga kanak-kanak. Jantinanya pun imbang. Rerata sepasang.

Alienasi, kata Nietzhe. Pembauran sekat-sekat budaya juga hasilkan keterasingan dalam keramaian. Masihkah wajah sendiri yang kita tatap setiap bercermin?

Wajah-wajah manekin itu sungguh rupawan. Tanpa jerawat. Tapi sebentar. Aku mendekat. Jika pepori manusia membentuk semacam jejaring halus, maka wajah, leher dan bidang-bidang tampak pada manekin lus halus lus mulus. Hanya ada retak-retak industri, serta "patah-pukah"-nya reruas jari.

Kuberanikan diri menatap pria tampan paling kanan. Dingin. Matanya putih. Kosong. Tak berkedip.

Berbeda saat bersitatap dengan tegaknya "pantak". Pantak, patung yang dibuat dengan tatacara dan tujuan khusus. Pada beberapa tempat di Kalbar, bisa memakan waktu hitungan minggu hingga bulan. Saat memahat, ada lagu-lagu khusus yang disenandungkan. Menyapa bumi, menyapa langit. Bersalam dengan sesegala ikhwal penciptaan.

Pernah di masa angkatbujangku, "begoyap" alias jalan-jalan ke sebuah kampung. Beberapa rekan yang lebih tua memasang rokok kretek pada pantak, terpasang tegak di muara kampung, menyambut ramah sesiapa tetamu berkunjung.

"Lihat!" seru seorang rekan tanpa menunjuk. Kupikir sederhana. Rokok kretek gampang dibakar angin. Tapi aku sampai terpaksa memicingkan mata dan mendekat. Bagian bara pada ujung rokok menyala, sesaat kemudian dari bagian pangkal rokok, mulut pantas, mengepul asap. Demikian berulang. Anehnya saat itu, aku sama sekali tak merinding. Malah kutepuk-tepuk pelan lengan Pantak. Kami kemudian masuk kampung.

Bertahun berselang, kudengar Pantak itu dicuri. Dibawa ke daerah batas. Dijual pada kolektor luar negeri. Kampung tersebut heboh. Tak terhindarkan, warga menabung serapah. Berikutnya lagi, sembilan orang yang dicurigai, saat bekerja ke luar kampung, tak ada yang berani kembali. Sementara keluarga masing-masing sembilan orang itu, dimasa-masa berikutnya, hidup bagai terpanggang. Tak ada yang menemukan hidup nyaman.

Aira menjerit lagi. Kali ini beda. Gembira. Tangannya menarik rok bawah manekin. Aku sedikit telat. Manekin itu tumbang. Kutahan. Tepat di bagian dada.

25.12.12
Catatan Perjalanan, Manekin.

(Khusus nama kampung yang memiliki Pantak merokok tersebut, bertimbang pada banyak hal, sengaja tak saya cantumkan.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Support

Join My Community at MyBloglog!