20/02/14

BERBURU

Tengah melaju bersama Si Biroe,
mataku terusik oleh sebuah papan
pengumuman berukuran besar. Tulisannya pun besar-besar. Kuputar haluan.
Singgah mengamati.

"DILARANG BERBURU DI KAWASAN PT. 'anu' ."

Ha? Sampai harus dibuat pengumuman sebegini rupa?
Modernisasi apa macam ini?
Sudahlah tanah diambil atas nama
kemajuan dan tingkatkan taraf
hidup (padahal disebaliknya menganga serakah Kapitalisme dan Kolonialisme), dibikin pula pengumuman yang diam-diam menjatuhkan. Kok?
Baik. Ini adalah Pulau Hujung
Tanah, punya banyak gelar. Dari
Pulau Seribu Sungai, Pulau Energi dan lain-lain, hingga julukan dari manca The Mysterious Island. Tak dapat dipungkiri, kehidupan Boemi
Poetra-nya masih sangat terikat pada alam. Mau sayur, banyak di hutan. Mau lauk, banyak di
sungai dan rimba-rimba. Kini,
meskipun sudah banyak generasi
baru yang sukses dalam kehidupan ekonomi maupun akademis, masih banyak pula "sanak
menyadik" yang bersetia
memenuhi kebutuhan hidupnya,
dengan prinsisp ambil
secukupnya, dari alam.
Nah, masuknya penjajahan
kapitalisme dan kolonialisme
berselubung nasionalisme prematur, membuat Boemi Poetra tercerabut dari budaya sendiri
dan alam sekitar, yang selama
berabad-abad meresap sampai ke
sumsum tulang. Seberapa banyak lagi area untuk mencari kayu Tebelian (ulin)? Mencari
rebung-pakis dan macam-macam
sesayuran eksotis? Mencari burung, tupai dan rusa?
Baiklah. Atas nama globalisasi, kita berserah pada kemajuan zaman. Baiklah juga, pelarangan berburu di areal sawit, demi masyarakat juga. Jangan
sampai masyarakat nantinya
disangka pencuri brondolan dan
tandan sawit. Tapi, membuat pengumuman sedemian rupa, semiotika sarkas di ruang publik,
tak adakah cara lain? Humas.
Mana humas-mu? Tak berfungsi
lagikah bahasa verbal kemanusiaan? Inilah tanda,
kemajuan yang dipaksakan,
berjarak dan beraroma permusuhan.

11.01.13
Catatan Perjalanan, di sebuah ruas
Jalan Trans Selatan Kalimantan: BERBUEU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Support

Join My Community at MyBloglog!