04/01/15

JALAN

JALAN

Kompleks, katamu. Aku setuju, Cantik. Seratus persen. Ada lapis-lapis skenario sesuai kepentingan pengambil kebijakan. Saat kita bertemu dengan lapis yang kita pikir paling inti, bisa jadi masih ada lagi lapis berikut yang sesungguhnya substansi.

Dinihari ini, Cantik, kita sepakati banyak hal. Mulai dari kamar-kamar konflik, hingga tinjauan keseluruhan arsitektur rumah masalah.

"Mereka ambil satu-persatu Putra terbaik kita, persis Peristiwa Mandor."

Kau dengar, Cantik, saudara-saudara kita bicara? Lalu, ingatkah kau akan Percakapan Erasmus yang kita kunyah malam demi malam bertahun-tahun lalu?

"Mereka tempiaskan huru-hara di sentral kekuasan ke tepi peta negara. Noktah-noktah yang kerap dilupakan, kecuali saat harus bayar pajak dan jelang pemilihan."

"Pembiaran. Agar kita buas dan saling mangsa."

"Politik kuno menjaga batas lapar perut. Semasih ada yang bisa dimakan, rakyat lelap dalam buaian."

"Lalu babat tunas-tunas gulma di pematang nasionalisme."

"Jadi menurut kalian, menumbangkan Sang Penjaga Gapura adalah kesalahan? Kalian pendukungnya? Kalau demikian, salahkan kami. Sebab, kami hanya menari atas tetabuhan yang mereka mainkan dari sana. Mereka pikir, cuma mereka yang bisa merekayasa? Kita juga bisa, Saudaraku."

Lalu, kabut embun yang turun di sepanjang jalan Ahmad Yani menularkan hening menikam. 

"Kupikir, itu cuma salah satu riak. Sedangkan riak-riak lain pun berkejaran ke sepenjuru pesisir."

"Karena ia berani menahan laju peluru tanpa suara."

"Benarkah? Sumbermu valid? Hoax itu. Bukankah beberapa tahun lalu ia menerima penghargaan atas prestasinya membina para serdadu tanpa peluru?"

"Sudah kubilang. Rumit."

"Tak juga. Ini cuma potensi konflik yang terus dipelihara negara. Ingat. Rumusan integrasi adalah merawat disintegrasi. Itu yang terjadi sekarang."

"Semoga mereka tak ditunggangi."

"Merekalah yang dibutuhkan negeri, setelah satu generasi emas jazirah ini dibantai mati."

"Aku salut. Kita sudah berkali-kali terdesak dan terus digeser ke tepi jurang. Mereka tahu batas tepat rasa sakit dan harga diri yang bisa dikompromi. Mereka menghunus gerakan."

"Tak seperti kita. Pengecut yang mencari celah jadi pahlawan."

"Hoi. Jaga mulutmu. Kita bukan calon legislator yang pamer senyum dan tatap mata yakin di baliho-baliho dan mobil ambulan."

Lalu kekehan beradu di udara. Berkelindan dengan percik imaji, asap rokok dan uap dari cangkir-cangkir kopi liberika.

Aih. Bukan malam yang dihabiskan percuma denganmu, Cantik. Paras dan otakmu yang seksi, hangatkan kelenjar dan hormon-hormon dalam kantong testis peradaban. Ini cuma soal imbangi tarian dan tetabuhan. Ini soal mengenali rasa sakit pedih. Ini soal reproduksi pengharapan humanis. Ini soal jangan sampai ditunggangi dan kemudian menjadi kanibal pada saudara sendiri.

"Ada yang keasikan menggoreng."

"Karena ada yang belum menyadari otak, otot dan organisasinya di remote dari sana."

Mari kita selesaikan malam, bukan pada puncak pengharapan. Biar ada masa rehat. Biar esok, udara pagi menjadi pijar yang menggerakkan piston ide dan karya nyata di ruang pembakaran.

"Kami pulang. Sudah malam."

"Hei? Bukankah sejak lebih sepuluh jam lalu dunia sudah malam?"

"Kami pulang. Kau tidurlah, Cantik. Kembalilah menjadi sarang."

20.11.13
Catatan  Perjalanan: Jalan 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Support

Join My Community at MyBloglog!