04/01/15

SECUIL SIANG DI PASAR KARTINI

"Kalau yang depan Pekong, ada yang politik ada yang bisnis."

Kami pun melewati deretan warkop yang dimaksud. Benar. Ramai.

"Singgah?"

"Kalau kau tahan, singgahlah."

Tapi tak kuarahkan si Biroe ke parkiran. Aku terus ke simpang jalan Kartini depan Pekong. Belok kiri. Melewati kios pangkas rambut Berdikari tempat almarhum ayahku dulu kerja setelah pensiun.

Belum sampai ke simpang depan Denpom, pada jalan yang membelah dua deret ruko, aku belokkan si Biroe ke kanan. Dulu, areal inilah yang disebut pasar senggol. Dikemudian hari, pasar senggol dipindahkan agak ke hulu pasar kartini. Beberapa blok terlewati, lalu belok kanan. Jalan lagi ke arah sungai. Beberapa meter kemudian, belok kanan lagi.

Aku membelokkan si biroe dan memarkirnya di depan sebuah warkop. Kami duduk di meja depan bagian kiri. Tak terlalu ramai. Pengunjung di dalam cuma mengisi dua meja. Aku pesan white coffee dan Blonk pesan kopi bubuk (tubruk).

"Sinipun sudah mulai jadi warkop bisnis," terang Blonk sambil mencermati sepuluh meja di dalam.

Kami bercakap soal masa kecil. Sambil bercakap aku menyimak sekeliling.

Posisi warkop ini membelakangi sungai Kapuas. Dalam novel "Naga Berkaca Mata dari Tembok Pasar" pernah kugambarkan bagian tepi sungai di pasar Kartini ini jika dilihat dari arah seberang. Serupa baris serdadu tiarap di pematang benteng parit, dengan ransel berat di punggung.

Nah, di depan warkop, terpisahkan oleh jalan Kartini, nampak kesibukan pekerja. Blok ruko yang terbakar awal bulan tahun, sedang dibangun kembali. Tiga lantai. Tiang-tiangnya beton kokoh.

Perancah-perancah kayu terpasang sedemikian rupa. Dari arahku duduk, nampak tiga perancah yang khusus dibikin sebagai lift untuk rupa-rupa material. Bentuknya segi empat, mirip tower. Lalu ada sebuah tali kawat dari atas. Tali kawat itu bersimpul pada empat utas tali yang mengikat tiap sudut sebuah lantai papan. Seorang pekerja menaruh gerobak sorong berisi adukan semen. Papan itu terangkat pelan. Sedangkan "tower lift" yang lain, papan pengangkut melesat ke bawah tanpa muatan.

Tampak pula dua buah bangunan non permanen untuk pekerja. Dari bagian atas dinding papan, terlihat beberapa pakaian dijemur. Di dekat masing-masing bangunan pekerja itu, ada sebuah mesin molen. Agak terhapus, tapi masih terbaca olehku tulisan HERCULES pada mesin-mesin itu.

Di sekitar mesin Hercules, ada gundukan batu dan pasir. Tampak pula beberapa pekerja mengisi gerobak sorong dengan pasir. Ada yang membawa ke bagian dalam untuk menimbun ruangan, ada pula yang membawa ke mesin-mesin molen. Mesin diesel menderu. Knalpotnya hembuskan asap hitam tipis. Molen berputar. Seorang pekerja tua, fasih memainkan jantera. Mula-mula molen merunduk. Pekerja lain mengisi dengan pasir, semen dan air. Pekerja tua memutar jantera. Molen mendongak berputar.

Sebuah mobil boks, enam mobil SUV terparkir menyempitkan jalan. Beberapa kali, terjadi kemacetan kecil.

"Kalau mereka tak lihai, cabut sim-nya."

Tapi ujaran Blonk itu tak memudarkan kecemasanku. Aku ke perkiran, mendorong si biroe sedikit ke depan. Ban depannya menyundul anak tangga semen warkop.

Ponselku bergetar. Emoh yang rupawan kirim sandek. Blonk bilang, ajak saja ke sini. Kubalas sandek Emoh.

Kami lanjut bicara soal masa depan. Aku mengenang kehebohan di sosial media saat blok ruko di depan terbakar. Tak. Aku tak memvonis apapun penyebab kebaran itu. Tapi, melihat ruko itu dibangun kembali, darahku berdesir. Mengingatkan pula pada kredo Putu Wijaya dalam berkarya. Teror mentalnya adalah merontokkan segala sendi yang ada untuk kemudian menata pembangunan kembali. Bagaimana denganku? Apakah aku harus "membakar diri" untuk sebuah perubahan menuju kebaikan?

Orang-orang dan kendaraan berlalu-lalang. Aku menyimak.

21.11.13
Catatan perjalanan: Secuil siang di Pasar Kartini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Support

Join My Community at MyBloglog!