10/12/16

NGKANO RUE DANGAN BUBUT

Tersebutlah dua ekor burung yang bersahabat, yaitu burung Rue (Ruai) dan burung Bubut. Saking bersahabatnya, kemana-mana mereka selalu bersama.
Suatu ketika, saat pohon-pohon buah mulai berbunga, sebagaimana penghuni belantara yang lain, mereka berdua pun bergembira. Mereka terbang dan bernyanyi riang dari rimba ke rimba.
Setelah dua hari selalu terbang, mereka hinggap ke dahan pohon tengkawang. Sambil mengatur napas, mereka menyaksikan aneka hewan rimba merayakan datangnya musim buah dengan cara masing-masing. Sepasang beruang madu bercengkrama, kawanan tupai melompat dari dahan ke dahan, aneka burung beterbangan, kawanan kijang berlari-lari, gerombolan babi berkubang dan lain-lain hingga kerumunan semut semadak yang riang membangun sarang.

Sambil tersenyum, Rue menoleh pada Bubut.

"Bulu-bulumu sangat cantik, Bubut."

"Terima kasih, Rue. Ini anugerah Tuhan."

"Iya, Bubut. Sudah sepantasnya kita, khususnya kamu berterima kasih padaNya. Akupun, meskipun memiliki bulu yang biasa-biasa saja, tetap berterima kasih. Bayangkan, kalau tidak ada bulu, jelang musim hujan ini aku pasti kedinginan."

"Kamu mau punya bulu yang cantik, Rue?"

"Mau. Cuma, ya, bagaimana? Ini sudah nasibku."

"Bisa. Nanti aku bantu."

"Caranya?"

"Apa kamu lupa siapa yang melukis batang pohon Tebelian di kaki bukit sana?"

"Iya. Kamu. Lukisanmu bagus sekali, Bubut."

"Nah. Sini kulukis bulu-bulumu. Selama ini aku memperhatikan bulu-bulumu, Rue. Aku membayangkan, jika bulu-bulumu yang panjang kulukis dengan pola tertentu, cukup dengan warna gelap dan terang, penampilanmu pasti akan cantik."

"Aku mau, Bubut. Aku mau. Aku percaya kamu bisa."

"Baik. Mari kita cari daun, getah dan buah-buah untuk membuat tinta."

"Mari."

"Eh, tapi kita 'pangari', ya. Kulukis bulumu, kamu lukis buluku. Setuju?"

"Emhhh...tapi...aku tak sepandai kamu, Bubut. Dan bukankah bulumu ini sudah sangat cantik?"

"Kamu tahu tanamam resam, kan?"

"Iya. Kenapa? Bahan tinta?"

"Bukan. Aku ingin kamu melukis ujung-ujung sayapku dengan pola resam."

"Tapi..."

"Tenang. Nanti aku bisa mengajarimu."

Mereka pun terbang ke seantero hutan untuk mengumpulkan bahan-bahan. Setelah terkumpul, Bubut memilih dan mengunyah bahan-bahan tersebut. Rue membentangkan sayap dan bulu ekor. Dengan paruhnya, Bubut melukis bulu Rue helai demi helai.

Begitu selesai, Bubut tersenyum puas.

"Boleh kututup sayap dan ekorku"

"Jangan. Sebentar lagi. Tahan sedikit. Biarkan matahari mengeringkan tintanya dulu."

Sayap dan ekor Rue gemetar. Bubut memeriksa hasil lukisannya dengan saksama.

"Beres! Kamu bercerminlah ke telaga."

Tak lama kemudian, Rue sudah kembali dari telaga. Wajahnya berseri-seri. Bulu ekor dikembangkannya, sungguh megah dan indah.

"Terima kasih sahabatku, Bubut. Aku suka dengan hasil lukisanmu."

"Sekarang, aku siap dilukis. Ingat. Cuma bagian ujung bulu-bulu sayap. Motif resam. Dan aku ingin warna merah. Itu sudah kuambil beberapa biji buah pinang."

Dengan gugup Rue mulai mematuk dan mengunyah biji pinang. Dengan bimbingan Bubut, kunyahan pinang dicampur dengan beberapa jenis getah pohon. Bahan-bahan itu bercampur liur dan siap digunakan. Bubut membentangkan sayap. Rue mulai melukis. Bubut saksama mengamati seraya memberikan petunjuk.

Sayap kiri selesai. Berikutnya sayap kanan. Berhati-hati Rue melukis sembari sesekali melihat sayap kiri. Jangan sampai hasilnya nanti tak seimbang.

Tiba-tiba mata Rue melotot. Pola di sayap kanan terlalu besar. Ia diam sejenak dan memikirkan cara mengatasinya.

"Kamu kenapa, Rue?"

"Itu...hufthhh!"

Terlambat! Harusnya Rue tak bicara saat melukis. Paruh Rue berisi cairan pewarna tersembur ke badan Bubut.

Mereka sama-sama terperanjat.

"Kamu tidak hati-hati!"

"Maafkan aku, Bubut. Maafkan aku..."

"Ah, dasar kamu jahat. Aku tahu, selama ini kamu iri."

"Coba cepat ke telaga dan mandi. Semoga tintanya masih bisa luntur."

"Iya. Tapi sebelum ke telaga, aku harus memberi pelajaran padamu agar lebih berhati-hati."

Dengan sayap, paruh dan cakarnya, Bubut membabi buta menyerang Rue. Rue mengelak sebisanya. Sesekali pukulan, pantukan dan cakaran Bubut mengenai tubuhnya.

"Cukup, Bubut. Cukup. Nanti tintanya kering."

"Aku belum puas!"

Rue bertubi-tubi kena serangan Bubut. Demi melihat Rue makin tersudut, Bubut semakin mengamuk.

"Maafkan aku, Bubut. Maafkan aku. Aku mengaku salah."

"Maaf? Maaf apa? Apa masalah akan selesai hanya dengan meminta maaf?"

"Bubut, sadarlah. Ingat. Bukankah Tuhan pun Maha Pengampun?"

Tapi kata-kata Rue tak digubris. Bubut terus menyerang. Akhirnya Rue tak tahan lagi. Dengan sisa kekuatan, ia terbang menjauh. Bubut mengejar dan terus mengejar. Dari pohon ke pohon, dari hutan ke hutan, kadang terbang rendah, sesekali terbang tinggi.

Matahari rebah di balik bukit. Bubut terkejut. Segera ia mencari telaga terdekat. Cepat ia mencelupkan diri. Sesaat kemudian ia muncul dan mengibaskan air dari tubuhnya.

Rue hinggap di sebatang dahan Meranti tak jauh dari telaga. Tatapan cemas campur iba. Dengan saksama ia melihat sahabatnya mencelupkan diri berkali-kali. Tapi, tinta terlanjur kering mengabadi.
Dengan tubuh lelah dan tatapan dendam, Bubut berteriak lantang ke arah Rue: "Mulai hari ini kita bersumpah. Aku tidak akan terbang ke hutan. Dan kau pun tidak boleh terbang ke tanah lapang, ladang atau lahan bawas."

Demikianlah. Sepasang sahabat itu tak pernah terlihat bersama-sama lagi. Masing-masing mereka teguh memegang sumpah.

Jika pagi-pagi kita ke ladang, bawas (bekas ladang) atau lahan bersemak, biasanya akan bertemu Bubut. Ia bersarang di tanah. Bulu-bulunya basah oleh embun. Jika matahari mulai bersinar di ufuk timur, ia akan berjemur. Ia berharap tinta di tubuhnya meluntur.

10.12.16
Catatan teras warung Ngkada: NGKANO RUE DANGAN BUBUT.
Narasumber cerita Pak Andreas Sidon Settel dan Pak Jambel.

1 komentar:

Support

Join My Community at MyBloglog!